Nuklir Digambarkan Bahan Kimia yang Meledak

Senin, 07 Juli 2014 – 04:19 WIB
TUGAS BERAT: Para penerjemah bahasa isyarat yang bertugas saat pelaksanaan debat Pilpres 2014. Foto: Wahyudin/Jawa Pos

jpnn.com - TAYANGAN langsung debat pemilu presiden-wakil presiden (pilpres) menjadi salah satu acara yang ditunggu-tunggu penonton televisi dalam beberapa pekan terakhir.

Bukan hanya masyarakat umum, tayangan itu juga bisa disimak dengan baik oleh warga berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas (difabel) tunarungu. Inilah pemandangan baru tayangan debat kandidat pilpres yang sebelumnya tak pernah mendapat perhatian.

BACA JUGA: Jualan Es Jus, Istri Minta Cerai, Akhirnya Dideportasi

Sejak debat pilpres kedua, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menugaskan para penerjemah untuk ikut menyukseskan salah satu tahapan pilpres itu. Khususnya untuk membantu warga yang mengalami gangguan pendengaran agar bisa mengetahui visi dan misi capres-cawapres yang akan dipilihnya nanti pada hari H pencoblosan, 9 Juli 2014.

”Ini memang kelanjutan dari MoU (nota kesepahaman) antara PPUA-Penca (Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat) dan KPU sejak simulasi pemilu legislatif lalu,” ujar Pingkan C.R. Warouw, salah seorang penerjemah bahasa isyarat, saat ditemui Jawa Pos seusai debat keempat di Hotel Bidakara Minggu pekan lalu (29/6).

BACA JUGA: Anggap Cucu, Tiap Pekan Tetap Disambangi

Pinky –sapaan akrab Pingkan– tidak sendiri dalam membantu para difabel memahami debat. Dia bersama tiga koleganya silih berganti menyampaikan bahasa isyarat di setiap segmen debat. Tiga kolega itu adalah Edik Widodo, Winda Utami, dan Pat Sulistyowati.

”Ibu Pat adalah seorang penyandang disabilitas sekaligus guru bahasa isyarat kami,” ujar Pinky memperkenalkan sosok Pat. Karena itu, saat wawancara berlangsung, Edik, Winda, dan Pinky secara bergiliran menerjemahkan dengan bahasa isyarat kepada Pat.

BACA JUGA: Agar Pasien Tak Lagi Gunakan Kobokan di Perut

Edik mengakui, tugas mereka tidak mudah untuk menyampaikan apa yang diucapkan para kandidat dalam debat kepada warga penyandang disabilitas. Satu debat dengan debat yang lain memiliki tema berbeda dan spesifik. Para penerjemah harus mempersiapkan dengan matang ratusan kata dan istilah yang memiliki keterkaitan dengan tema debat.

”Setiap debat selesai, besoknya kami sudah harus browsing, mempersiapkan kata-kata dan istilah apa yang kira-kira muncul dalam debat nanti,” kata Edik.

Menurut dia, selama ini tidak pernah ada kisi-kisi yang disampaikan KPU maupun tim pemenangan pasangan calon terkait apa yang akan disampaikan kandidat dalam debat. Semua materi, pertanyaan, hingga jawaban kandidat bersifat rahasia.

Karena itu, para penerjemah harus kaya kosakata sebelum tampil live di depan kamera televisi. ”Semuanya kan rahasia, jadi kami yang harus mempersiapkan sendiri. Ya kami harus meraba-raba sendiri,” ujarnya.

Mempersiapkan bahasa isyarat untuk kata-kata yang mungkin muncul dalam debat itu bukan hal yang mudah. Dan, saat sudah menemukan kata-kata itu pun, para penerjemah mesti berdiskusi bagaimana cara menyampaikannya di depan layar kaca agar mudah dipahami ”pemirsa” khusus tersebut. Satu kata, ujar Edik, bisa menggunakan banyak gerakan.

”Misalnya, untuk mengatakan teknologi nuklir, kami harus menerjemahkan sebagai bahan kimia yang dicampur, lalu meledak. Dan itu banyak gerakannya,” beber Edik memberi contoh.

Namun, tidak jarang banyak kata yang terlewatkan dari proses browsing. Contohnya, kata kerja sama tripartit antara pemerintah, swasta, dan publik dalam inovasi teknologi, yang dalam debat seri keempat pekan lalu sempat disampaikan salah seorang kandidat cawapres dalam bahasa Inggris. Para penerjemah harus bisa menerjemahkan kalimat tersebut dengan cepat dan real time saat itu juga.

”Makanya, kami bekerja berempat, saling membantu. Kami harus sehati saat menyampaikan kata-kata,” ungkapnya.

Menurut Edik, banyak kata yang disampaikan kandidat yang merupakan istilah sulit. Maka, pihaknya harus lebih cermat dalam menyampaikan kepada para difabel.

”Misalnya kata energi terbarukan. Kalau diterjemahkan langsung pasti aneh. Harus dicari padanannya bahwa energi terbarukan itu bisa disebut energi alternatif,” beber Edik yang sehari-hari bekerja sebagai staf di sebuah gereja.

Dari empat seri debat, Edik menyebut jumlah kata-kata asing paling banyak muncul pada debat keempat. Cawapres Jusuf Kalla (JK) maupun Hatta Rajasa kerap menyampaikan istilah yang sulit dipahami secara bahasa isyarat. ”Kami sampaikan istilahnya, lalu dibantu Ibu Pat untuk menyampaikan gerakannya,” ujar dia.

Pinky menambahkan, satu hal yang harus mereka pegang teguh dalam bertugas adalah netralitas. Sejak ditetapkan sebagai penerjemah debat oleh KPU, mereka telah bersumpah untuk menjaga netralitas itu.

Dan sumpah berdasar agama masing-masing selalu dilakukan sebelum debat berlangsung. Hanya, pada debat keempat, sumpah tersebut lupa dilakukan. ”Harusnya sore tadi (sebelum debat keempat, Red) kami disumpah. Tapi, karena sibuk semua, sumpah tak sempat dilakukan,” ujar Pinky sambil tertawa.

Pinky menambahkan, agar penampilan mereka terus meningkat, evaluasi harus dilakukan setiap menjalankan tugas negara itu. Misalnya, kalau pada debat pertama banyak penyandang disabilitas yang mengeluh karena gambar para penerjemah terlalu kecil, pada debat berikutnya gambar penerjemah diperbesar.

”Pada debat keempat gambarnya sudah ideal. Bisa dengan jelas disaksikan para penyandang disabilitas. Background-nya juga polos biru sehingga lebih fokus. Sebelumnya latar belakangnya tembok dan terlihat ada jendelanya,” jelas Pinky.

Masalah background tayangan memang krusial. Jika background-nya polos, para penderita disabilitas akan dengan mudah menangkap gerak yang dilakukan penerjemah.

Selain itu, para penerjemah sengaja menggunakan baju dan celana serbahitam agar memudahkan para difabel menangkap gerak. ”Standar bajunya memang hitam polos. Biar tidak flicker saat dilihat di televisi,” terangnya.

Jika para penonton normal melihat para penerjemah melakukan gerakan tangan, ekspresi wajah, dan gerak tubuh, jelas Pinky, hal itu disebabkan timnya harus mengikuti gestur dan mimik wajah para kandidat yang sedang berbicara.

”Bukan karena kami memihak salah satu pasangan capres-cawapres. Kami harus menyesuaikan, harus terlihat komikal, demi para penonton penyandang disabilitas,” tegas perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai penyelamat binatang itu.

Saat ini di Indonesia terdapat ratusan ribu penderita disabilitas tunarungu. Dari jumlah itu, dibutuhkan setidaknya empat ribu penerjemah untuk membantu mereka berkata-kata.

”Tapi, jumlah yang ada sekarang masih sangat kurang. Di Jakarta saja baru ada ahli bahasa isyarat 14 orang. Dari 14 orang itu, cuma tujuh orang yang berani tampil,” ungkap Pinky yang juga salah seorang anggota World Association of Sign Language Interpreter (WASLI).

Jika Edik dan Pinky sudah menggeluti profesi sebagai penerjemah sejak 1990-an, Winda Utami termasuk generasi muda penerjemah. Perempuan yang baru lulus dari salah satu perguruan tinggi di Surakarta itu mengungkapkan, aktivitasnya sebagai penerjemah penderita disabilitas didorong kehidupan sehari-harinya di kampus.

”Saya beberapa kali ikut komunitas autisme. Ada penerjemah, tapi tidak banyak. Waktu itu saya awalnya ingin bantu-bantu jadi penerjemah. Ternyata berlanjut sampai sekarang,” papar Winda yang mengaku baru menguasai bahasa isyarat sejak awal 2011.

Dari empat seri debat capres-cawapres, kata Winda, debat keempat yang paling sukses. Pasalnya, para penderita disabilitas merasa puas atas penampilan para penerjemah di layar kaca yang lebih jelas.

”Cuma kadang-kadang terjemahannya agak tidak terbaca karena ada tulisan di bagian bawah layar pesawat televisi,” ucap Winda. (Tri Mujoko Bayuaji /c9/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dulu Tugaskan Burung Kenari untuk Mengintip, Kini Cukup CCTV


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler