jpnn.com - JAKARTA - Undang-undang Pilkada yang disahkan parlemen masih menuai kontroversi. Banyak pihak berencana menggugat undang-undang tersebut di Mahkamah Konstitusi (MK), tak terkecuali OC Kaligis.
"Makna demokrasi sering diartikan sebagai bagian dari prinsip ketatanegaraan yang bersifat fundamental. Oleh karena itu, perlu pendekatan filosofis dan historis agar mendapat rumusan yang sejalan sesuai nilai-nilai yang ideal," kata Kaligis di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (29/9).
BACA JUGA: Syarif Akui Kubu PDIP Dukung Opsi Demokrat di Paripurna
Menurut Kaligis, UU Pilkada membuat 10 tahun pemerintahan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono sia-sia belaka. Sebabhanya sekejap saja menikmati pemilihan langsung yang menjadi bagian dari demokrasi.
Dalam hal ini ia juga mempertanyakan munculnya 10 perbaikan pilkada langsung yang diusung Partai Demokrat saat paripurna 25 September lalu. "Mengapa baru sekarang 10 syarat muncul? Sebelumnya, Demokrat tidak pernah membahas 10 syarat tersebut," sambungnya.
BACA JUGA: Presiden Tandatangan atau Tidak, UU Pilkada Tetap Sah
Sebagai negara yang menganut prinsip kedaulatan rakyat, menurutnya, tidak ada tawar menawar dalam proses praktek ketatanegaraan.
"Makna kedaulatan di tangan rakyat memiliki arti filosofis bahwa negara diciptakan dan diselenggarakan atas legitimasi rakyat. Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat tak terbantahkan dalam perkembangan negara hukum yang demokratis," tegas Kaligis.
BACA JUGA: Ketua Fraksi Demokrat Salahkan Kubu PDIP
Kaligis menilai UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 28I dan Pasal 28D ayat 3 UUD 1945. UU Pilkada, bagi Kaligis, telah merenggut hak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan hak asasi manusia.
"Fakta-fakta sejarah sistem demokrasi kita yang menerapkan demokrasi langsung merupakan koreksi dasar sistem yang diterapkan oleh DPRD ketika tahun 1999," tandasnya. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pasek: Inisiator Walk Out Fraksi Demokrat Harus Dipecat
Redaktur : Tim Redaksi