jpnn.com - JAKARTA - Terdakwa kasus suap hakim PTUN Medan Otto Cornelis Kaligis menyampaikan keberatan alias eksepsi pribadi atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK. Eksepsi setebal 40 halaman itu dibacakannya di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam persidangan hari ini, Senin (31/5).
Eksepsi advokat senior itu diawali dengan curahan hati terkait perlakuan yang diterimanya dari KPK. Mulai dari penangkapan yang dia anggap sebagai penculikan, sampai klaim tidak mendapat fasilitas perawatan kesehatan, semua dibeberkannya di 20 halaman pertama.
BACA JUGA: Begini Cara Kapolri Tangkis Ancaman RJ Lino
"Ternyata KPK yang disebut sebagai institusi peradapan manusia itu justru melakukan tindakan penculikan atas diri saya dan merampas kemerdekaan saya dengan sewenang-wenang mengabaikan ketentuan KUHAP," kata OC dihadapan hakim.
Mantan ketua Mahkamah Partai NasDem itu merasa diperlukan berbeda oleh KPK karena sejak awal sudah ditarget untuk menjadi tersangka. Hal ini didasarinya pada fakta bahwa yang tertangkap tangan menyuap hakim adalah anak buahnya, M Yagari Bhastara alias Gerry.
BACA JUGA: Dikabarkan Merilis Nama-Nama Tersangka Capim KPK, Begini Jawaban Kapolri
Menurut OC, ketika operasi tangkap tangan itu terjadi, dia sedang berada di Bali. Dia pun klaim tidak tahu maupun memerintahkan Gerry pergi ke Medan untuk menyerahkan uang suap.
"Tapi karena saya bos-nya (Gerry) dan sudah jadi target KPK, fakta-fakta tersebut diabaikan. Bahkan, KPK membangun rangkaian peristiwa yang dikaitkan satu dengan lainnya, didukung keterangan saksi-saksi yang secara psikologis dalam ketakutan ancaman KPK untuk menempatkan saya dalam posisi sebagai apa yang KPK sebut sebagai dalang penyuapan," bebernya.
BACA JUGA: Tjahjo Minta Menko Luhut Rajin Blusukan ke Perbatasan
Di paruh akhir eksepsinya, OC mempermasalahkan berbagai hal formal terkait dakwaan. Salah satunya terkait kewenangan Pengadilan Tipikor Jakarta untuk mengadili perkara ini.
Menurut ayahanda Velove Vexia ini, lokasi terjadinya tindak pidana yang didakwaan adalah Medan, Sumatera Utara. Karena itu, sesuai ketentuan undang-undang Pengadilan Tipikor Jakarta tidak berwenang mengadili.
OC juga menilai KPK tidak berwenang menangani perkara ini. Pasalnya, menurut undang-undang KPK hanya bisa memproses tindak pidana korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 milyar.
"Dalam perkara a quo penuntut umum mendalilkan Gerry telah memberi uang kepada hakim dengan total USD 32 ribu yang mana sama sekali tidak mencapai Rp 1 milyar. Dengan demikian terbukti KPK dan Pengadilan Tipikor tidak berwenang melakukan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara," ucap OC.
Pria asal Minahasa ini menutup eskepsinya dengan kembali menyampaikan curahan hatinya. OC membeberkan dampak dari perkara suap hakim PTUN Medan terhadap reputasinya sebagai advokat dan pakar hukum.
Menurut OC, gara-gara kasus ini kantor hukumnya yang berusia nyaris 50 tahun terpaksa ditutup. Sejak menyandang status tersangka, OC mengaku telah ditinggal semua kliennya baik di dalam maupun luar negeri. Karirnya sebagai akademisi pun ikut tamat.
"Nama saya rusak di dalam dan luar negeri, saya dua kali diterima Obama di Gedung Putih, Washington. Semua jabatan akademis hancur," ujar pria berusia 74 tahun itu.
Atas dasar semua itu, OC memohon kepada majelis hakim untuk menolak dakwaan dari JPU pada KPK. Dia juga memohon agar dinyatakan bebas dari semua perkara.
Seperti diberitakan sebelumnya, OC didakwa memberi suap kepada tiga hakim dan seorang panitera PTUN Medan. Perbuatan pidana itu dilakukan bersama-sama dengan M Yagari Bhastara, Gatot Pujo Nugroho dan Evi Susanti. (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Isi Percakapan Telepon Kapolri dengan Menteri Rini
Redaktur : Tim Redaksi