Ogah Disandera Amerika, Tiongkok dan Rusia Jauhi Dolar

Senin, 22 April 2019 – 11:02 WIB
Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Foto: Reuters

jpnn.com, BEIJING - Rusia dan Tiongkok berusaha mengurangi dominasi mata uang dolar AS. Terutama dalam perdagangan dua negara. Karena itu, mereka berencana menggunakan lebih banyak mata uang yuan ataupun rubel. 

''Baik Tiongkok maupun Rusia tidak puas karena hampir semua pembayaran internasional menggunakan dolar Amerika. Kami butuh swasembada. Kami butuh otonomi yang lebih banyak,'' tegas Duta Besar Rusia untuk Tiongkok Andrey Denisov sebagaimana dikutip South China Morning Post akhir pekan lalu.

BACA JUGA: Hindari Dampak Sanksi AS, Rusia Ajak Tiongkok Tinggalkan Dolar

Langkah itu sejalan dengan pernyataan Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev saat berkunjung ke Tiongkok November tahun lalu. Dia mengungkapkan bahwa dua negara tengah berdiskusi untuk meluncurkan sistem pembayaran perdagangan langsung lintas perbatasan dengan menggunakan yuan dan rubel.

Nilai perdagangan antara Rusia dan Tiongkok pada 2018 lalu naik 25 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Yaitu, mencapai USD 108 miliar atau setara dengan Rp 1.500 triliun. Namun, hanya 10-12 persen dari nilai perdagangan tersebut yang menggunakan mata uang milik Rusia maupun Tiongkok.

BACA JUGA: BLACKPINK Tiga Hari Meriahkan Amerika

BACA JUGA: Negara Tajir Mulai Terpikat Proyek Infrastruktur Tiongkok

Moskow dan Beijing tak puas dengan angka itu. Mereka ingin meningkatkan persentase penggunaan yuan dan rubel secara signifikan. Pun demikian dengan penggunaan mata uang negara lain untuk perdagangan dan investasi. Intinya, tak lagi bergantung pada dolar AS.

BACA JUGA: Gara-Gara Pelukan Tiga Detik, David Terancam Masuk Bui

Selama ini Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Rusia. Sebaliknya, Rusia adalah partner dagang terbesar kesepuluh bagi Tiongkok. Selama ini perdagangan dua negara cukup kuat. Selalu ada kenaikan setiap tahun. Denisov yakin pertumbuhan perdagangan dua negara akan terus menguat tahun ini.

Penggunaan mata uang yuan dan rubel juga menjadi jalan keluar untuk menghadapi sanksi AS. Rusia disanksi langsung oleh AS dan negara-negara Barat karena mengakuisisi Krimea dari Ukraina pada 2014 lalu.

Selain itu, Negeri Beruang Merah dituding terlibat campur tangan dalam Pemilu AS 2016 lalu dan melakukan aksi memata-matai. Setidaknya minimal ada 60 sanksi yang dijatuhkan ke individu maupun perusahaan Rusia. Baik itu berupa pembekuan aset, larangan perjalanan, maupun berbagai hal lainnya.

Sementara itu, Tiongkok terkena sanksi secara tidak langsung. Sebagian besar karena perusahaan dan individu negeri panda tersebut bertransaksi dengan negara-negara yang terkena sanksi AS seperti Iran dan Korea Utara (Korut). ''Saya yakin sanksi itu tak adil,'' terang Denisov.

Dia mencontohkan, teknologi 5G yang dikembangkan Huawei Technologies. Washington melarang Huawei menjual teknologi 5G-nya ke perusahaan-perusahaan AS dengan alasan keamanan.

Banyak perusahaan Rusia kini sulit membuka rekening bank komersial. Para pebisnis global lebih suka bermain aman dengan menghindari transaksi dengan Rusia sama sekali.

Sebelumnya, Presiden Xi Jinping menyatakan bahwa Rusia dan Tiongkok harus bekerja sama untuk menentang proteksionisme perdagangan. (sha/c22/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gandeng Rusia, Venezuela Akali Sanksi Amerika


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler