jpnn.com - JAKARTA - Kebijakan pungutan terhadap industri keuangan di tanah air tidak berlaku mutlak. Sebab, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan keringanan pembayaran kepada perusahaan yang dinilai sedang mengalami kesulitan keuangan. Kemudahan tersebut termasuk penyesuaian pungutan hingga nol persen.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto menyatakan, meski ada diskon pungutan, kriteria perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan akan sangat ketat. Sebab, bila tidak selektif, kebijakan tersebut justru akan merugikan OJK. Sebab, upaya pungutan itu didasarkan pada semangat kemandirian agar OJK tidak lagi membebani APBN.
BACA JUGA: Kementerian PU Tunggu Laporan Proyek Tol Atas Laut Jakarta-Surabaya
Karena itu, dalam mempertimbangkan tarif nol persen, OJK meminta perusahaan untuk berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan. ”Kami hindari risiko pungutan berkurang. Karena nantinya peran APBN menjadi lebih besar,” katanya dalam sosialisasi aturan pelaksanaan pungutan OJK di Jakarta, Kamis (3/4).
Beberapa persyaratan kesulitan keuangan tersebut diterapkan pada masing-masing industri. Misalnya untuk bank umum, BPR, dan BPRS. Pada jenis industri keuangan itu, penerima keringanan adalah yang dalam pengawasan khusus; dalam likuidasi, dan dalam upaya penyehatan. Ada pula kriteria yang bila bank dipungut akan mengakibatkan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) di bawah ketentuan.
BACA JUGA: Daerah Harus Proaktif Rebut Blok Siak
Emiten dan perusahaan publik yang dapat disesuaikan pungutannya adalah yang selama tiga tahun terakhir berturut-turut mempunyai modal kerja bersih negatif. Juga, mempunyai kewajiban melebihi 80 persen dari aset perusahaan. Untuk asuransi jiwa, asuransi umum, dan reasuransi disebut mengalami kesulitan keuangan bila risk based capital (RBC) kurang dari 100 persen pada tahun terakhir. “Penyesuaian tarif pungutan ini tak hanya bagi institusi, namun juga individu,” ujarnya.
Pertimbangan untuk membebaskan pungutan itu sejatinya tidak hanya diterapkan pada kondisi kesulitan keuangan, tetapi juga untuk industri keuangan yang kini dinilai perlu dikembangkan oleh OJK. “Lembaga keuangan mikro mungkin bisa masuk dalam penyesuaian,” paparnya.
BACA JUGA: Adhi Karya Incar Pendapatan Rp 113 miliar dari Monorel
Sejak 12 Februari 2014, pemerintah merilis Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2014 tentang Pungutan OJK. Kebijakan tersebut ditindaklanjuti melalui pembentukan peraturan OJK (POJK) No 3 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pungutan oleh OJK. Selain itu, OJK mengeluarkan Surat Edaran (SE) No 4 Tahun 2014 tentang Mekanisme Pembayaran Pungutan oleh OJK.
Deputi Komisioner Bidang Manajemen Strategis II OJK yang membidangi keuangan Harti Haryani menerangkan, total pungutan yang dikenakan OJK terhadap pelaku industri keuangan tahun ini diperkirakan mencapai Rp 1,83 triliun. Sebanyak 65-70 persen pungutan akan berasal dari perbankan. “Pungutan tahun ini akan digunakan untuk anggaran tahun depan yang totalnya lebih dari Rp 3 triliun,” jelasnya.
Meski demikian, OJK juga memiliki kebijakan untuk tidak memberlakukan pungutan kepada industri sementara waktu. Hal itu dilakukan bila besarnya pungutan dalam tahun tertentu bisa memenuhi kebutuhan tahun anggaran berikutnya.
“Khusus untuk pungutan tahunan, misalnya. Kalau DPR memutuskan kebutuhan anggaran hanya Rp 800 miliar, nanti pungutannya bisa nol persen. OJK akan mengumumkan jika ada kebijakan ini,” tuturnya. (gal/c18/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PLN Dukung Masyarakat Gunakan EBT
Redaktur : Tim Redaksi