Oki Setiana Dewi, Perempuan, dan KDRT

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 06 Februari 2022 – 21:40 WIB
Oki Setiana Dewi. Foto: Djainab Natalia/JPNN

jpnn.com - Ustazah Oki Setiana Dewi di-bully habis-habisan oleh netizen gegara potongan ceramahnya yang menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah masalah yang tidak harus dibuka kepada publik.

Dari potongan ceramah itu Oki Setiana Dewi dianggap telah melakukan normalisasi terhadap KDRT.

BACA JUGA: Video Ceramah Oki Setiana Dewi Soal KDRT Viral, Ria Ricis: Mutlak Terpotong

Oki diberondong berbagai komen tajam oleh netizen, sampai akhirnya Oki meminta maaf. Cerita yang dikutip oleh Oki dalam ceramahnya dianggap mendukung KDRT. Bahkan ada yang menyebut potongan ceramah Oki itu toxic alias beracun.

Oki mengutip sebuah cerita di Jedah, ketika seorang suami memukul istrinya. Beberapa saat kemudian ibu mertua datang ke rumah dan melihat ada lebam di muka sang putri. Alih-alih mengadukan kekerasan itu kepada ibunya, sang putri menutupi kejadian itu dan tidak menceritakannya kepada sang ibu.

BACA JUGA: Gus Miftah Yakin Oki Setiana Dewi Tidak Sepakat dengan KDRT

Sang suami menyangka istrinya akan mengadu kepada ibunya. Namun, sikap sang istri yang menyembunyikan inisden itu mengejutkan sang suami.

Di bagian akhir kisah ini Oki menyebut bahwa sang suami justru makin mencintai sang istri, karena sikapnya yang sangat tawaduk kepada suami.

BACA JUGA: Heboh Ceramah Oki Setiana Dewi, Wagub Jabar: KDRT Bukan Aib yang Harus Disembunyikan

Banyak netizen yang berkomentar pedas. Rata-rata menyimpulkan Oki sebagai pendukung KDRT. Kata netizen, kalau kekerasan dalam rumah tangga ditutup-tutupi, berarti hal itu berarti akan melanggengkan kekerasan itu.

KH Anwar Abbas, wakil ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) membela Oki. Dia mengatakan bahwa dalam Islam, menjaga muruah keluarga sangat dianjurkan.

Tidak semua insiden dalam rumah tangga bisa dibuka kepada publik. Islam menempatkan ketaatan istri kepada suami sebagai hal yang esensial dalam berkeluarga.

Pesan moral yang disampaikan Oki dalam ceramah itu adalah bahwa problem keluarga harus diselesaikan secara internal. Kepada ibu kandung pun problem internal tidak harus dibuka, selama pasangan suami-istri masih punya komitmen untuk menyelesaikannya sendiri.

Pesan moral itu yang disalahpahami dan kemudian dianggap sebagai sikap penormalan terhadap kekerasan, dan malah ada yang menganggapnya bisa melanggengkan kekerasan dan melegitimasinya.

Peran suami sebagai kepala rumah tangga sering dianggap sebagai dominasi sistem patriaki yang merugikan hak-hak perempuan.

Oki berusaha menjelaskan persoalan rumah tangga dalam perspektif Islam. Dari sudut pandang Islam, suami adalah pemimpin dan imam dalam rumah tangga yang wajib ditaati.

Ada hak dan kewajiban yang jelas dalam relasi suami istri dalam Islam. Suami sebagai kepala rumah tangga wajib memberi nafkah lahir-batin kepada istri. Sementara itu, sang istri wajib taat kepada suami dan menjaga rahasia rumah tangga.

Pelanggaran masing-masing pihak terhadap hak dan kewajiban disebut ‘’nusyuz’’. Istri melakukan nusyuz ketika dia tidak menjalankan kewajiban dan membangkang terhadap suami. Demikian juga, suami yang tidak menjalankan kewajibannya disebut melakukan nusyuz. Dua-duanya punya konsekuensi hukum.

Istri yang melakukan nusyuz harus terlebih dahulu dinasihati oleh suami, tetapi tetap diberi nafkah batin. Langkah kedua adalah memisahkan diri ketika tidur. Dan langkah ketiga suami diperbolehkan memukul istri tanpa ada upaya mencederai.

Suami yang melakukan nusyuz bisa digugat cerai oleh sang istri. Konflik rumah tangga ini diupayakan dijaga sebagai persoalan internal untuk menjaga muruah keluarga. Jika diperlukan campur tangan pihak ketiga, maka boleh didatangkan seseorang untuk membantu mediasi.

Relasi suami-istri dalam Islam sering dianggap sebagai justifikasi sistem patriaki yang menempatkan dominasi laki-laki atas perempuan.

Dalam relasi ini perempuan dianggap mempunyai kedudukan yang inferior dari laki-laki, dan tidak bisa mendapatkan hak-hak kebebasan sosial karena menjadi subordinat total laki-laki.

Sejarah Islam menunjukkan gerakan emansipasi yang lebih luas ketimbang gerakan serupa yang dilakukan di Barat. Sejak masa kehidupan Nabi Muhammad saw perempuan diberi peran sosial yang luas. Istri Nabi Muhammad, Siti Aisyah dikenal sebagai wanita yang punya peran penting dalam berbagai aktivitas sosial, keagamaan, intelektual, dan bahkan politik.

Aisyah menjadi periwayat hadis yang tepercaya yang telah meriwayatkan ribuan hadis yang menjadi rujukan sampai sekarang. Aisyah mendapatkan posisi sosial yang sangat tinggi dengan sebutan sebagai ‘’ummul mu’minin’’ ibu semua kaum yang beriman.

Sepeninggalan Nabi Muhammad, Aisyiah terlibat langsung dalam berbagai aktivitas sosial dan politik. Aisyah bahkan terlibat dalam peperangan ‘’Jamal’’ atau ‘’perang onta’’ dan memimpin langsung pasukannya dengan memberi komando di tengah pasukan dengan mengendarai unta.

Perang itu terjadi antara pasukan Aisyah dengan pasukan Ali bin Abi Thalib. Perang terjadi karena kelompok Aisyiah menganggap Ali tidak bertindak tegas terhadap pelaku pembunuhan terhadap Khalifah Usman bin Affan.

Perang Unta menjadi perang terbuka pertama antar-sesama pasukan Islam dalam sejarah. Perang ini menimbulkan friksi di dalam tubuh Islam.

Namun, perang ini juga menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan dalam Islam diakui dan diterima di kalangan Islam, meski pun ada juga yang tidak menyetujuinya.

Dalam tradisi Jawa perempuan ditempatkan pada posisi garis belakang, atau ‘’konco wingking’’, partner di belakang, yang bertugas mengurus logistik rumah tangga. Secara pejoratif perempuan disebutkan punya tiga fungsi, sumur, dapur, kasur, yaitu mencuci, memasak, dan melayani suami di tempat tidur.

Ungkapan yang diskriminatif menyebutkan peran perempuan sebagai masak, macak, manak, yaitu memasak, berhias, dan melahirkan anak. Hak-hak perempuan hanya dibatasi pada urusan domestik, masak dan macak, dan fungsi reproduksi, manak.

Perempuan tidak mempunyai independensi untuk menentukan nasib dan pilihan sendiri dan bertanggung jawab terhadap pilihannya. Semua ditentukan oleh laki-laki dan perempuan hanya bisa mengikutinya, ‘’suwargo nunut, neroko katut’’, masuk surga karena ikut suami, dan masuk neraka juga karena ikut suami.

Sejarah emansipasi nasional dipelopori oleh Raden Ajeng Kartini (1879-1904) yang menulis surat-surat kepada sahabatnya Ny. Abendanon di Belanda.

Kartini—yang menjadi istri kedua bupati Rembang—curhat mengenai kondisi perempuan dan keterbatasannya dalam pendidikan.

Kartini mengajukan pemikirannya mengenai emansipasi wanita untuk memberi hak yang lebih luas kepada wanita untuk menentukan nasibnya sendiri.

Surat-surat Kartini itu dikompilasi menjadi buku ‘’Habis Gelap Terbitlah Terang’’ yang menjadi tonggak gerakan emansipasi Indonesia. Kartini meninggal muda dalam usia 25 tahun.

Di Eropa gerakan emansipasi wanita relatif terlambat. Di Jerman dan Inggris perempuan mendapatkan hak politik untuk dipilih dan memilih pada 1918.

Amerika Serikat memberi hak suara kepada perempuan pada 1920. Sebelum itu perempuan tidak mempunyai hak suara untuk memilih dan dipilih.

Perkembangan gerakan feminisme pasca-perang dunia kedua di Eropa dan Amerika melahirkan emansipasi yang liberal yang kemudian meluas ke seluruh dunia. Para aktivis feminisme liberal melakukan advokasi terhadap penerapan hak-hak perempuan, termasuk di dalamnya hak perlindungan dari kekerasan rumah tangga.

Undang-undang anti-kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia diundangkan pada 2004. Sekarang para wakil rakyat di parlemen sedang sibuk menyusun undang-undang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang dimaksudkan untuk lebih memberi perlindungan kepada perempuan.

UU TPKS menjadi perdebatan sengit karena dianggap ada muatan agenda liberal di dalamnya. Persoalan pemerkosaan dalam rumah tangga menjadi salah satu poin yang menjadi perdebatan.

Seorang suami yang memaksa istrinya melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan akan dianggap melanggar hukum dan dikenai pasal pemerkosaan.

Nilai-nilai kebebasan seperti ini akan menjadi persoalan ketika berhadapan dengan konsep ‘’nusyuz’’ dalam Islam. Akan terjadi kontroversi panjang mengenai dua konsep yang berseberangan secara diametral ini.

Ada arus besar yang saling berseberangan dalam menghadapi isu ini. Kasus Ustazah Oki Setiana Dewi ini hanya ujung gunung es dari arus besar yang bertarung di bawahnya. (*)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler