Oligarki Musuh Bersama

Oleh: Lukman Hakim, Wakil Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA)

Minggu, 26 September 2021 – 22:55 WIB
Wakil Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) Lukman Hakim. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Keberhasilan gerakan reformasi 1998 tak lepas dari gerakan rakyat yang berhasil mengidentifikasi orde baru (Orba) sebagai musuh bersama. Kesadaran itu dengan cepat menular secara masif di kalangan Rakyat.

Partai Rakyat Demokratik menerjemahkan ke dalam gerakan anti-Kediktaktoran Orde Baru. Arus reformasi menggelora di mana-mana dan akhirnya orde baru jatuh.

BACA JUGA: Lawan Oligarki Politik, PSI Serukan Pilih Kotak Kosong di Pilkada Ngawi

Reformasi yang digadang sebagai jalan menuju kesejahteraan rakyat disikapi secara euforia massal tanpa adanya kekuatan politik alternatif yang mumpuni. Di saat yang sama kekuatan imperialisme diam-diam mengonsolidasikan diri melalui channel-channel politik bahkan melalui isu-isu demokratisasi.

Tak disangkal bahwa imperialisme berhasil mengikat Indonesia melalui LoI IMF yang ditandatangani Soeharto tak lama sebelum jatuh. Orde Baru boleh jatuh, tetapi roh imperialisme tidak mati.

BACA JUGA: Rocky Gerung: KPK Dikerdilkan Sesuai Pesanan Oligarki

Arus liberalisasi tersamarkan dalam euforia demokratisasi melalui pemilu dan juga proses politik di parlemen hingga mampu mengamendemen UUD 1945. Pasal krusial, yaitu pasal 33 berhasil dimodifikasi untuk kepentingan liberalisasi ekonomi dan melapangkan jalan bagi eksploitasi sumber daya ekonomi dan alam Indonesia.

Aturan jaminan sosial dicangkokkan dan melahirkan UU SJSN dan BPJS. Privatisasi BUMN strategis secara sistemik terus berlangsung meski korban dari rakyat berjatuhan.

BACA JUGA: DPP PRIMA Telah Siap Ikuti Verifikasi Parpol Peserta Pemilu 2024

Kemudian UU Minerba, UU SDA dan terakhir UU Ciptakerja. The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam Laporan Indeks Demokrasi 2020, Indonesia mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir yaitu menduduki peringkat ke-64 dunia dengan skor 6.3.

Dalam prosesnya, imperialisme dan liberalisasi melahirkan kekuatan sekelompok kecil (kaum 1 persen) yang berhasil menguasai separo sumber penghidupan rakyat banyak (kaum 99 persen).

Kaum satu persen itulah yang dinamakan oligarki (baca: kaum cukong). Sedangkan oligarki adalah suatau sistem di mana segelintir orang menguasai sebagian besar sumber daya ekonomi dan mempunyai kemampuan menentukan kebijakan politik.  

Mereka berhasil menguasai struktur dan instrumen demokrasi dan politik dari semua lini. Pemilu sebagai pintu masuk oligarki, sedangkan parpol menjadi media oligarki untuk mendominasi sistem politik.

Pada akhirnya, parlemen didominasi oleh pengusaha dan kaki tangan oligarki. Penelitian Marepus Corner bertajuk 'Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia' (2020) menemukan, sebanyak 55 (318 orang) persen anggota DPR merupakan pengusaha yang tersebar di berbagai sektor.

Sebanyak 26 persen pebisnis tersebut merupakan pemilik perusahaan dan 25 persen menjabat sebagai direktur atau wakil direktur dan 36 persennya masih aktif dalam melakukan kegiatan berusaha. Baru-baru ini oligarki terus berkonsolidasi melalui poros politik yang diisisi oleh parpol-parpol pendukung pemerintah (poros istana) dan parpol di luar pemerintahan (poros oposisi).

Demokrasi dibajak oligarki, demikian kesimpulan banyak kalangan. Demokrasi berjalan prosedural dan semu. Selain menghasilkan para anggota dewan nirkualitas dan pejabat korup, demokrasi berjalan diatas suara rakyat yang terabaikan. Data Perludem menyebutkan ada sekitar 13 juta suara sah yang sia-sia karena tak terwakili di DPR karena adanya ambang batas parlemen.

Di tingkat bawah politik transaksional terus dipelihara di tengah situasi kemiskinan di akar rumput, yang kemudian menyuburkan budaya patron klien. Inilah massa mengambang yang diinginkan dan disukai oleh oligarki. Rakyat dibuat muak terhadap politik, apolitis. Namun dapat dibeli suaranya setiap pemilu.

Oligarki juga mengakibatkan ketimpangan ekonomi makin dalam. Survei Persepsi yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (2020), menguak fakta sebanyak 91,6 persen responden mengakui distribusi pendapatan tergolong “cukup tak setara” dan “tak setara sama sekali”. Hal ini konsisten di seluruh lintas kelompok responden, mulai dari gender, pendapatan, pendidikan, usia, dan lokasi (kota/desa).

Terkait perubahan pendapatan dalam lima tahun terakhir, persepsi masyarakat mencerminkan ketimpangan ekonomi di Indonesia masih dalam.

Sebanyak 24 persen responden termiskin menilai pendapatannya jauh menurun. Sebaliknya, 56 persen responden dari golongan terkaya merasa pendapatannya makin meningkat.

Hasil survei ini selaras dengan fakta yang dilaporkan Credit Suisse (2020) yaitu adanya peningkatan orang kaya selama pandemi sebesar 61,69 persen (171.740) dan orang super kaya sebanyak 417 orang atau naik 22,29 persen dari tahun 2019 serta peningkatan kakayaan para pejabat, menteri hingga presiden.

Kehidupan ekonomi-politik Indonesia benar-benar tengah dicengkram kaum cukong, oligarki.

Musuh Bersama dan Solusi Bersama

Pemahaman bahwa oligarki merupakan problem pokok bangsa Indonesia saat ini makin meluas, dari mulai di kalangan pengamat, akademisi, aktivis gerakan hingga di sebagian masyarakat. Kesadaran ini tak boleh berhenti pada diskusi kalangan terbatas semata, tetapi harus terus-menerus didengungkan di ruang-ruang publik dan di akar rumput.

Identifikasi oligarki sebagai problem pokok harus ditingkatkan menjadi kesadaran anti-oligarki kemudian menjadikan oligarki sebagai musuh bersama.

Mengidentifikasikan oligarki sebagai musuh bersama menjadi penting bagi rakyat Indonesia agar tak mudah dicekoki oleh propaganda manis oligarki. Dengan menempatkan oligarki sebagai musuh bersama, maka gerakan --meminjam bahasa Prof. Dr. Azyumardi Azra, mengadang oligarki dapat dibangkitkan.

Dalam sebuah forum Dr. Ujang Komarudin dari Universitas Al Azhar Indonesia menyerukan bahwa oligarki bukan hanya harus dilawan namun harus dihancurkan. Maka, dibutuhkan gerakan terstruktur dan sistematis dan melibatkan semua elemen yang anti-oligarki. 

Kaum intelektual, aktor politik, pelaku industri nasional, tokoh dan komunitas keagamaan, elemen gerakan rakyat, ormas-ormas, individu, dan seluruh rakyat biasa berhimpun membangunan kekuatan atau poros politik baru anti oligarki.

Simultan dengan pembangunan poros politik anti-oligarki, Profesor Firman Noor dari LIPI menyarankan adanya upaya penciptaan sebuah ekosistem yang bercirikan solidaritas komunitas, penghormatan atas hukum, pengedepanan etika politik, budaya demokrasi rasional, penghargaan atas kebebasan berekspresi, self-sufficient dan berkesadaran politik.

Tak kalah penting adalah perbaikan sistem pemilu, terutama penghapusan ambang batas dan membatasi kerabat dan keluarga dekat petahana menduduki jabatan yang sama.

Kekinian, bangsa kita perlu belajar dari negara Ukraina yang telah berhasil menyusun dan meloloskan UU yang melarang oligarki terlibat dalam politik.

Indonesia pun harus mempunyai UU yang anti-oligarki yang menjadi turunan langsung dari pasal 33 UUD 1945 (asli) dan Pancasila serta menjadi payung bagi seluruh kegiatan ekonomi nasional di semua sektor. Itulah solusi bersama menuju Indonesia yang adil makmur. Indonesia tanpa oligarki, Indonesia harus bisa!(***)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler