Ombudsman Ungkap Dugaan Maladministrasi Usai Penangkapan Pedemo Tolak UU Ciptaker

Rabu, 21 Oktober 2020 – 14:54 WIB
Petugas kepolisian mendapati sebuah truk mengangkut puluhan pelajar yang hendak mengikuti unjuk rasa memprotes Omnibus Law Cipta Kerja di Jakarta Pusat, Selasa (13/10). Foto: Ricardo/JPNN.COM

jpnn.com, JAKARTA - Ombudsman mengungkap adanya dugaan maladministrasi yang dilakukan jajaran Polda Metro Jaya (PMJ) saat menangani proses hukum terhadap para pedemo menolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

Temuan ini menurut Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh P Nugroho, terjadi pascademonstrasi terhadap pedemo yang diamankan polisi.

BACA JUGA: BEM SI Ultimatum Jokowi, Ferdinand: Mahasiswa Mempersulit Hidupnya Sendiri

 

"Ada dua dugaan, tidak memberikan akses kepada penasehat hukum dan melampaui kewenangan ketika tidak akan memberikan SKCK kepada pelajar yang ikut demo," kata Teguh saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (21/10).

BACA JUGA: Dua Aliansi BEM Beda Sikap, Satunya Justru Mengawal UU Cipta Kerja

Teguh menjelaskan bahwa jajarannya melakukan pemantauan di Polda Metro Jaya sejak 8 Oktober 2020, hingga saat ini.

 

BACA JUGA: Polisi Amankan Ambulans yang Isinya tak Sesuai Fungsi, Hmm..

Ada sejumlah hal yang mendapat perhatian Ombudsman terkait penanganan pascademo yang dilakukan polisi.

Pertama, langkah polisi memisahkan para demonstran yang diamankan untuk kemudian dipulangkan kepada orang tua, dengan yang dilakukan ke proses penyidikan.

Berikutnya, Polda Metro Jaya juga menjalankan prosedur pencegahan penularan Covid-19 terhadap pedemo yang diamankan, maupun yang proses penyelidikan dengan melakukan rapid test.

Kemudian, Ombudsman juga tidak menemukan adanya tindak kekerasan selama proses pengamanan dan penyelidikan di Polda Metro Jaya.

Untuk urusan makan, Ombudsman menemukan bahwa polisi memberikan konsumsi kepada para pedemo yang diamankan dalam jangka waktu dan kualitas yang baik.

Akan tetapi, kata Teguh, polisi tidak memberikan akses bagi para penasihat hukum, walaupun mereka tetap diberikan pendampingan hukum dari penasihat yang disediakan oleh polisi.

"Polda Metro Jaya tidak memberikan akses bagi para pendamping atau penasehat hukum terhadap 43 orang yang diselidiki," jelas Teguh.

Seharusnya, para tersangka memiliki keleluasaan untuk memilih pengacaranya sendiri, sehingga perlu dibuka akses kepada para pengacara atau kelompok masyarakat sipil lain untuk melakukan pendampingan.

Teguh mengatakan, keterbukaan itu penting, karena para tersangka diduga merupakan pihak-pihak yang dianggap merusak fasilitas publik dan ditengarai dibiayai oleh pihak-pihak tertentu.

Dengan membuka pengawasan terhadap proses penyelidikan ke masyarakat, katanya, maka Polda Metro Jaya bisa menyampaikan seluruh proses pemeriksaannya secara transparan dan akuntabel.

Selain itu juga bisa diketahui apakah benar ada pihak ketiga yang membiayai, aksi itu sekadar luapan emosi massa di lapangan, atau massa yang terorganisir dengan tujuan tertentu.

"Ini untuk mengikis praduga-praduga yang berkembang di masyarakat dengan transparansi proses tersebut," tambah Teguh.

Terakhir, Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya juga menyayangkan adanya tindakan kepolisian di bawah koordinasi Polda Metro Jaya yang mengeluarkan ancaman bagi pendemo.

Hal ini terkait dengan ancaman akan mempersulit dikeluarkannya surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) kepada para pelajar yang melakukan aksi demonstrasi UU Ciptaker.

Sebelumnya, Polda Metro Jaya telah menetapkan sebanyak 131 tersangka dalam kerusuhan saat unjuk rasa pada 8 Oktober dan 13 Oktober 2020. Dari jumlah itu, sebanyak 69 telah ditahan.(antara/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler