jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja mengatur bahwa perusahaan pemegang izin tetap berkewajiban menjaga areal konsesinya dari ancaman kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Ini sekaligus menjawab pertanyaan di ruang publik mengenai perubahan pasal dalam UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
“Bila ada pertanyaan, apakah dengan adanya Omnibus Law kemudian perusahaan tidak lagi bertanggung jawab pada karhutla di areal konsesinya? Jelas ini tidak benar. Pasal 49 UU Kehutanan tidak dicabut, tetapi diubah dengan mewajibkan korporasi melakukan juga pencegahan dan pengendalian Karhutla di areal konsesinya,” tegas Tenaga Ahli Menteri LHK Bidang Legislasi Legal dan Advokasi, Ilyas Asaad dalam keterangan persnya, Kamis (27/2).
BACA JUGA: Omnibus Law LHK Menyederhanakan Prosedur Tanpa Mengubah Prinsip Lingkungan
RUU Omnibus Law mengusung semangat menyederhanakan regulasi, karenanya ketentuan pada satu pasal, bukan berarti menghilangkan norma hukum secara keseluruhan. Ketentuan pada Pasal 49 ini tidak terlepas dari Pasal 50 dan Pasal 78 dalam UU yang sama.
Perubahan pada Pasal 49 dari “bertanggung jawab terhadap terjadinya kebakaran” menjadi “wajib melakukan pencegahan dan pengendalian” harus dilihat kaitannya dengan Pasal 50 yang telah mengatur larangan membakar, bahkan kemudian sanksi pidana bagi pembakar juga diatur dalam Pasal 78 ayat 2 dan ayat 3. Dengan demikian larangan membakar menjadi lebih luas bukan hanya bagi pemegang izin. Dalam RUU Omnibus Law ini juga dibedakan antara sengaja dan lalai.
BACA JUGA: Panglima TNI Tinjau Lokasi Observasi WNI di Pulau Sebaru
''Tanggung jawab perusahaan dalam karhutla justru makin berat karena selain dilarang membakar juga wajib melakukan pencegahan dan pengendalian kebakaran. Jadi membaca RUU Omnibus Law harus secara utuh karena antara pasal per pasal saling berkaitan,'' jelas Ilyas yang juga menjadi tim ahli Omnibus Law bidang LHK ini.
Pasca-Karhutla 2015, KLHK telah melakukan berbagai langkah korektif pengawasan pada perusahaan secara ketat, dan ini belum pernah dilakukan pada masa-masa sebelumnya, terutama pada lahan gambut. Seperti kewajiban membuat dokumen rencana pemulihan ekosistem gambut, yang juga merupakan bagian dari upaya holistik pencegahan karhutla di areal konsesi.
BACA JUGA: Omnibus Law dan Demokrasi Deliberatif
“Jadi dalam Omnibus Law diperkuat lagi penegasan tentang pencegahan adalah menjadi tanggung jawab perusahaan. Konsesi HTI juga diperintahkan untuk melakukan kontrol dan menjaga karhutla hingga radius 2-5 km di luar batas konsesinya,” jelas Ilyas.
Penegakan hukum lingkungan pada perusahaan kata Ilyas, dilakukan pemerintah bukan untuk mengejar kesalahan, namun memberi efek jera, sekaligus melakukan pembinaan.
Diingatkannya kembali, bahwa baru di era Presiden Jokowi, di bawah kepemimpinan Menteri LHK Siti Nurbaya, dibentuk Ditjen Penegakan Hukum (Gakkum) dan telah dilakukan penindakan hukum tegas bagi korporasi yang sebelumnya 'nyaris tidak tersentuh hukum'.
Pendekatan Multidoors
Penegakan hukum lingkungan di KLHK dilakukan dengan pendekatan multidoors, yakni sanksi administratif, perdata, dan pidana. Setiap perusahaan yang areal konsesinya terjadi karhutla dimintakan pertanggungjawabannya, dan tidak bisa mengelak.
Menurut Ilyas, ketegasan ini baru dilakukan di era pemerintahan Presiden Jokowi, belum pernah dilakukan sebelumnya. Ketika karhutla 2015, Menteri LHK telah memberikan sanksi administratif berupa pembekuan izin dan paksaan pemerintah kepada ratusan perusahaan HTI dan perkebunan. Ketika karhutla 2019, Gakkum LHK telah menyegel sedikitnya 100 konsesi perusahaan HTI dan perkebunan karena dianggap lalai menjaga areal konsesinya terhadap Karhutla.
“Kita tidak mungkin surut mengenai penegakan hukum ini karena sudah menjadi komitmen Bapak Presiden Jokowi dan Ibu Menteri LHK Siti Nurbaya, serta tentu saja dengan melindungi masyarakat kecil,” kata pengajar hukum lingkungan ini.
Melalui Omnibus Law, kewajiban perusahaan menjaga areal konsesinya terhadap karhutla justru ditingkatkan menjadi kewajiban pengendalian dan pengawasan yang diatur dalam sebuah Undang-Undang.
Sementara frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dalam Pasal 88 UU 32/2009 yang dihapus, bukan berarti menghilangkan makna strict liability.
“Dalam omnibus law yang di kedepankan adalah sanksi administratif bukan berarti sanksi pidana dihilangkan. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap dilakukan dan pelaku kejahatan lingkungan tetap dihukum, karena pasal pidana tetap dipertahankan,” kata Ilyas.
Untuk pelanggaran-pelanggaran teknis yang membutuhkan langkah koreksi (corrective action) maka tetap dilakukan penegakan hukum dengan sanksi administratif seperti paksaan pemerintah, denda, pembekuan dan pencabutan izin.
Sementara perbuatan melawan hukum terkait dengan limbah B3, atau yang beresiko tinggi yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan tetap dapat dimintai pertanggungjawabannya untuk membayar ganti kerugian lingkungan tanpa perlu membuktikan unsur kesalahan.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich