Omnibus Law dan Demokrasi Deliberatif

Kamis, 27 Februari 2020 – 22:40 WIB
Ketua Umum DPP GMNI 2019-2022, Arjuna Putra Aldino. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Oleh: Arjuna Putra Aldino

Ketua Umum DPP GMNI 2019-2022

BACA JUGA: Tidak Ada Penghapusan soal Amdal di RUU Omnibus Law

Pemerintah saat ini sedang melakukan upaya reformasi hukum berupa Omnibus Law. Skema hukum ini diambil dalam rangka untuk menarik investasi mengingat pemerintah selama ini belum mampu secara maksimal mendongkrak laju investasi untuk masuk ke Indonesia.

Hal ini dibuktikan di awal September tahun lalu, sebanyak 33 industri merelokasikan pabriknya dari Tiongkok namun tak ada satupun yang masuk Indonesia. Vietnam menjadi negara tujuan utama investasi tersebut. Dari jumlah industri yang merelokasi, 23 di antaranya memutuskan pindah ke Vietnam.

BACA JUGA: Guru Besar UGM: Tidak Ada Penghapusan Amdal di RUU Omnibus Law

Namun upaya reformasi hukum ini justru menuai kontroversi. Tak jarang mendapat penolakan dari sejumlah elemen masyarakat, seperti serikat buruh dan organisasi mahasiswa. Omnibus Law yang pada mulanya dimaksudkan sebagai upaya reformasi hukum justru mengundang polemik dan kegaduhan publik. Problem pada tataran proses perancangan dan isi sejumlah pasal menjadi sorotan. Sehingga Omnibus Law nampak seperti jauh dari tujuan awal Presiden yakni menyederhanakan regulasi.

Kondisi Hiper-regulasi

BACA JUGA: Panglima TNI Saksikan Penandatanganan Force Down Pesawat Asing

Saat ini Indonesia dapat dikatakan berada dalam kondisi hyper-regulasi. Hal ini dapat dilihat dari catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bahwa sebanyak 10.180 regulasi diterbitkan pada 2014 hingga November 2019.

Regulasi itu terdiri dari 131 undang-undang, 526 peraturan pemerintah, 839 peraturan presiden, dan 8.684 peraturan menteri. Jumlah regulasi yang banyak ini seringkali saling tumpang tindih dan tidak selaras. Sehingga di lapangan tak jarang menciptakan keruwetan birokrasi, tumpang tindih wewenang hingga menegasikan satu sama lain. Dengan kata lain, kondisi hiper-regulasi dapat menyebabkan lemahnya efektivitas dan efisiensi kinerja birokrasi.

Salah satu keadaan yang menciptakan kondisi hiper-regulasi adalah keinginan untuk mengatur semua hal dalam bentuk undang-undang. Seakan-akan undang-undang menjadi obat mujarab untuk menyelesaikan semua persoalan yang ada. Padahal menurut John Locke, undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif merupakan undang-undang yang dapat memberikan kebaikan bagi masyarakat luas (common good) dan memuat unsur-unsur kepentingan umum. Namun dalam perkembangannya, sistem undang-undang saat ini tidak jelas batasan materi yang harus diatur dalam undang-undang. Seringkali hal yang paling teknis pun dipaksakan untuk diatur dalam bentuk undang-undang. Padahal cukup diatur lewat peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

Kekeliruan paradigma yang menganggap undang-undang sebagai solusi semua masalah juga menuai problem yang cukup parah, yakni munculnya pandangan bahwa kuantitas undang-undang dianggap sebagai indikator kesuksesan kinerja fungsi legislasi. Bukan pada isi atau muatan undang-undang yang dihasilkan serta implementasi atau pengawasan regulasi.

Kualitas regulasi seperti ketaatan pada asas dan pemuatan kepentingan umum sering kali diabaikan dalam proses pembuatan undang-undang. Hal ini kemudian turut memberikan kontribusi pada situasi hiper-regulasi yang terjadi saat ini. Akibatnya, peraturan perundang-undangan menjadi kendala utama dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Bahkan seringkali peraturan perundang-undangan justru menjadi penghambat dalam berbagai aspek interaksi antara sistem bernegara dan bermasyarakat. 

Hal ini terlihat dari Indeks Kualitas Regulasi Indonesia yang mendapatkan skor negatif yaitu berada di level -0,11 poin pada 2017. Indeks ini mengukur kemampuan pemerintah suatu negara dalam merumuskan regulasi untuk pengembangan usaha sektor swasta. Begitu juga dengan hasil riset PricewaterhouseCoopers (PwC) 2019 menunjukkan bahwa 35 persen pandangan para Chief Executive Officer (CEO) perusahaan secara global menyatakan regulasi berlebih dan ketidakpastian kebijakan menjadi momok ancaman dalam berbisnis di Indonesia.

Dengan kata lain, regulasi yang terlalu banyak dan ketidakpastian kebijakan menjadi ancaman teratas untuk masuknya investasi di Indonesia. Fenomena hiper-regulasi ini kemudian berdampak pada mandeknya iklim kemudahan berbisnis di Indonesia. Bank Dunia dalam laporannya yang bertajuk Ease of Doing Business 2020 menyebutkan peringkat kemudahan berbisnis Indonesia tidak berubah di posisi 73 dari 190 negara. Tingginya biaya dan waktu mengurus perizinan menjadi sorotan utama.

World Economic Forum (WEF) dalam World Competitiveness Report 2018 mengungkapkan butuh waktu sekitar 25 hari untuk mengurus perizinan investasi di Indonesia. Sementara lama pengurusan izin di Malaysia dan Vietnam relatif lebih singkat dibandingkan di Indonesia. Belum lagi proses yang harus dilalui untuk mendapatkan izin di Indonesia ada 11 prosedur.

Jumlah tersebut lebih banyak dari rata-rata negara Asia Tenggara lainnya yang hanya 8,6 prosedur. Hal yang sama juga diungkapkan oleh hasil survei Bank Dunia yang menunjukkan proses perizinan konstruksi di Indonesia membutuhkan waktu yang lama, bisa mencapai 191 hari. Angka tersebut merupakan yang terlama kedua di ASEAN. Perizinan konstruksi di Indonesia harus melewati sebanyak rata-rata 18 prosedur dan memakan biaya hingga 4,8 persen dari nilai bangunan.

Di tengah kondisi hiper-regulasi inilah wajar apabila Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul berjudul “Global Economic Risk and Implications for Indonesia” sangat spesifik menyebutkan bahwa Indonesia dinilai negara yang berisiko, rumit, dan tak kompetitif untuk investasi. Hal ini disebabkan karema regulasi yang tak terprediksi, inkonsisten, dan saling bertentangan. Kondisi ini jika dibiarkan sangat berbahaya bagi perekonomian nasional. Investasi yang masuk pun berjalan lamban, pertumbuhan ekonomi nasional terancam mengalami stagnasi.

Untuk itu, konsep omnibus law tidak jarang digunakan untuk mengatasi tumpang tindih (overlapping) regulasi maupun dalam hal menyederhanakan peraturan perundang-undangan. Namun pada perjalanannya omnibus law justru berjalan tak sesuai konsep adiluhung yang bakal menjadi panacea atas sengkarutnya kondisi regulasi dan peraturan perundang-undangan saat ini.

Kontroversi dan Dis-orientasi

Kontroversi mulai banyak timbul pada draf RUU Cipta Lapangan Kerja. Sejumlah pasal kontroversial menghinggapi RUU Cipta Lapangan Kerja ini. Beberapa hal yang menjadi sorotan, salah satunya seperti pasal 89 poin 24 disebutkan, bahwa Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Pasal ini bisa bermakna bahwa upah minimum akan menggunakan standar provinsi (UMP). Padahal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015, penetapan upah dilakukan di provinsi serta Kabupaten/Kota. Sejumlah serikat buruh menganggap skema ini akan merugikan pekerja karena standar upah minimum provinsi seringkali lebih kecil dibanding upah minimum Kabupaten/Kota. Sebagai contoh, upah minimum Kabupaten Karawang yang berlaku saat ini sebesar Rp4.594.324 dan upah minimum Bekasi sebesar Rp4.498.961. Sementara, upah minimum provinsi yang berlaku di Jawa Barat sebesar Rp1.810.350. Artinya, jika menggunakan skema UMP seperti yang termuat dalam RUU Cipta Lapangan Kerja upah pekerja bisa jauh lebih kecil dari sebelumnya.

Kedua, dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam RUU Cipta Lapangan Kerja tidak memuat uang penggantian hak, sedangkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pekerja berhak memperoleh uang penggantian hak jika di PHK. Ketiga, pembayaran upah bagi pekerja yang berhalangan tak lagi disebutkan dalam omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja. Sedangkan, aturan sebelumnya (UU Nomor 13 Tahun 2003) tetap membayar upah pekerja yang sakit sebesar 25-100 persen (tergantung lama sakit) dan yang tidak masuk kerja selama 1-3 hari karena menikah, melahirkan, atau ada anggota keluarga yang meninggal.

Keempat, dalam RUU Cipta Lapangan Kerja waktu kerja lembur diperpanjang menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. Dalam UU Ketenagakerjaan, waktu kerja ini paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu.

Tentu poin-poin kontroversial tersebut mendapat penolakan dari kalangan serikat buruh. Karena dianggap mengurangi hak pekerja. Padahal jika kita merujuk tujuan awal dicetuskannya omnibus law oleh Presiden Jokowi adalah untuk menyederhanakan regulasi.

Artinya omnibus law dalam perjalanannya mengalami dis-orientasi. Karena berdasarkan data yang ada, rendahnya investasi yang masuk ke Indonesia bukanlah persoalan upah buruh yang terlalu tinggi. Melainkan karena adanya hiper-regulasi yang membuat in-efisiensi. Pasalnya berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sejak Januari hingga Agustus 2019 nominal upah hanya mengalami kenaikan sebesar 3 persen.

Kenaikan upah tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai 3,2 persen. Bahkan data Bank Dunia menyebutkan dari 2016 hingga 2018, sebanyak 46 persen pekerja menerima upah di bawah upah minimum yang ditetapkan oleh masing-masing daerah.

Hal ini makin mempertegas, bahwa selama ini upah buruh cenderung turun, namun aliran investasi yang masuk ke Indonesia juga tak kunjung naik. Disinilah letak dis-orientasi dari omnibus law yang justru tidak mengakomodir kehendak Presiden yang menginginkan adanya efisiensi birokrasi dan pemangkasan regulasi untuk menarik masuknya investasi sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Demokrasi Deliberatif Sebagai Pendekatan

Polemik dan penolakan terhadap omnibus law juga berangkat dari proses perumusan yang tidak dijalankan dengan proses yang transparan, terbuka serta melibatkan segenap elemen yang nantinya bakal terdampak terhadap kebijakan tersebut. Faktor keterlibatan berbagai elemen merupakan faktor etis substansial dalam pengambilan kebijakan publik yang apabila tidak diselenggarakan justru menjadi faktor penghambat dari implementasi kebijakan itu sendiri.

Salah satu potret buram dari tidak adanya proses deliberatif dalam perumusan kebijakan omnibus law ini yakni proses perumusan hanya melibatkan sekelompok kecil golongan semata. Komposisi satgas omnibus law menjadi bermasalah ketika 30 persen anggotanya berstatus pengusaha yakni diisi oleh 16 orang pengurus Kadin nasional dan daerah serta 22 orang ketua asosiasi bisnis. Hal ini kemudian menciptakan potensi adanya konflik kepentingan (conflict of interest) dan isi dari kebijakan tersebut hanya menguntungkan kelempok tertentu saja.

Untuk itu perlu adanya pendekatan yang membuka ruang partisipasi secara luas pihak-pihak yang terdampak secara langsung dari kebijakan omnibus law ini. Adanya konflik kepentingan dalam sebuah pengambilan kebijakan memang tak bisa dipungkiri, namun untuk mengurangi dampak yang luas bagi kepentingan hajat hidup orang banyak, ia harus melalui proses pengujian dan diskursus bersama civil society di dalam ruang publik (public sphere).

Kuncinya adalah rasional reason yang bisa dipertangungjawabkan. Dengan kata lain, dari sinilah memungkinkan adanya transformasi preferensi-preferensi yang bersifat pribadi menjadi sudut pandang yang bisa diuji kelayakan dan kebenarannya secara publik. Dari sini pula tujuan utama dari omnibus law dapat dijaga agar tidak mengalami dis-orientasi. Dengan kata lain, omnibus law sebagai sebuah bentuk reformasi hukum haruslah dijalankan dalam kerangka “negara hukum demokratis”.

Kontroversi yang kontraproduktif pun dapat dihindarkan dengan dialog yang transparan dan inklusif. Dalam hal ini demokrasi deliberatif tetap menghormati garis batas antara negara dan masyarakat, namun ingin agar negara hukum demokratis mencairkan komunikasi-komunikasi politis di dalamnya. Sehingga kontroversi yang berkepenjangan dapat dihindari.


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler