Omnibus Law dan Politik Belah Bambu

Oleh: Chazali Husni Situmorang

Rabu, 19 April 2023 – 14:44 WIB
Chazali Husni Situmorang. Foto: dok for jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Sejak digunakannya metode Omnibus Law dalam penyusunan rancangan undang-undang (RUU), produk undang-undang yang dihasilkan tiada hentinya terjadi penolakan dari berbagai lini masyarakat.

Organisasi buruh terus protes dengan lahirnya UU Cipta Kerja.

BACA JUGA: PPNI Menyikapi Pro Kontra RUU Kesehatan

Dua kali dengan Perpru Cipta Kerja, disahkan DPR menjadi undang-undang metamorfosa dari undang-undang sebelumnya yang sama dan sebangun.

Buruh demo sampai hari ini. Sepertinya pemerintah menikmati berbagai demo-demo itu.

BACA JUGA: PB IDI Minta Pembahasan RUU Kesehatan Dihentikan, Uni Irma Menghajar Balik

Undang-Undang P2SK yang baru disahkan dengan waktu yang cukup singkat.

Dengan pendekatan Omnibus, pemerintah (Kemenkeu) dan DPR bercengkrama mesra dalam menyusun RUU tersebut, dan salah satu korbannya adalah UU SJSN, pada pasal-pasal terkait JHT dibongkar pasang sesuai dengan selera.

BACA JUGA: Pengamat: Bola Panas RUU Kesehatan di Tangan Komisi IX DPR

Karena keberhasilan UU P2SK, DPR melalui Baleg semakin bersemangat meluncurkan prolegnas RUU Omnibus Kesehatan, hasil kerja sama yang apik dengan Kemenkes.

Ada 10 undang-undang di lingkungan sektor kesehatan dibongkar habis porak poranda.

Ada 2 undang-undang lex specialist yang kena sabet pedang Omnibus itu, yaitu UU SJSN, dan UU BPJS, yang intinya melumpuhkan BPJS sebagai lembaga independen, dan melemahkan tupoksinya.

Skenarionya diatur, dan itu mudah dibaca selama proses pembahasan di DPR.

Kemenkes melemparkan substansi NA dan draf RUU kepada Baleg, lantas dipreteli menjadi bahan umpan yang diberikan kepada stakeholder, organisasi kesehatan, dalam forum RDP. Selanjutnya kita sudah tahu.

Pemerintah telah membuat DIM dalam forum Panja Pemerintah, dan Komisi IX DPR sudah membuat Panja, dan ditargetkan Mei mendatang draf RUU dengan DIM-nya sudah final.

Saat ini situasi penyusunan RUU Omnibus Kesehatan sangatlah tidak kondusif.

Menteri Kesehatan disomasi oleh kelompok masyarakat kesehatan yang menentang RUU, dan di pihak lain ada katanya 17 organisasi kesehatan bertemu Menkes dan menyatakan mendukung.

Omnibus Law ini memijak kaki para bidan, perawat, dokter, dan tenaga kesehsatan lainnya, karena regulasi (UU) yang selama ini menjadi payung hukum mereka berorganisasi diberangus.

Ada perasaan jengkel, marah dan dendam kepada Menkes yang ingin mematahkan sayap para organisasi profesi itu.

Di sisi lain, organisasi profesi sempalan diberi ruang dan kesempatan untuk mengepak sayapnya.

Mereka mendukung tanpa reserve atas RUU Omnibus Kesehatan yang diusung DPR dan Kemenkes.

Organisasi kesehatan dan tenaga kesehatan saat ini sudah terbelah. Politik belah bambu sedang dimainkan para peneyelenggara negara.

ASN di lingkungan Kemenkes tidak boleh bermain mata atau ikut guyup organisasi yang tidak sejalan dengan kebijakan Kemenkes dalam menyikapi RUU Kesehatan.

Politik belah bambu itu secara kasat mata sedang dimainkan oleh penyelenggara negara.

Baca saja pasal-pasal yang disusun dalam RUU itu. Intinya sedang memusatkan kekuasaan berkumpul di Kementerian Kesehatan. Sentralistik. Pengendalian penuh tenaga kesehatan.

Menghilangkan otoritas organisasi profesi walaupun dilandasi undang-undang.

STR dan SIP dikendalikan Kemenkes. Profesi kesehatan ditempatkan sebagai pekerja.

Pendidikan spesialistik diletakkan pada hospital based.

Kebijakan ekstrem itu mengguncangkan aras dunia kesehatan.

Profesi kesehatan tersentak. Ada yang menentang total. Ada yang setengah-setengah. Ada yang tiarap, tapi ada juga yang jadi brutus.

Profesi kesehatan sedang dalam ujian berat. Sedang babak belur dilibas politik belah bambu.

Apa itu politik belah bambu?

Istilah ini sudah familiar kita dengar, tapi esensi maknanya perlu juga kita ungkapkan kembali.

Politik belah bambu adalah politik yang membelah bambu yang semula terpadu dan menyatu, lalu dibelah.

Cara membelahnya adalah yang satu diangkat ke atas, yang satunya lagi diinjak ke bawah.

Apa tujuan dari politik belah bambu itu?

Tujuan menerapkan politik belah bambu untuk mempertahankan kekuasaan.

Praktiknya, sebagian kelompok masyarakat yang menentang kekuasaan, diinjak, ditekan, dan selanjutnya jika perlu dihancurkan sampai habis.

Tetapi sebagian kelompok yang lain (terutama yang mendukung kekuasaan) diangkat, diberi fasilitas, dan diistimewakan kehidupannya di masyarakat.

Sejarahnya, politik belah bambu biasa dilakukan oleh bangsa-bangsa penjajah dari Eropa.

Sejak abad 15, bangsa-bangsa penjajah Eropa melakukan ekspansi dan menganeksasi wilayah wilayah yang sudah dikuasainya lewat peperangan, atau penguasaan perekonomiannya.

Di dalam wilayah jajahannya mereka menerapkan politik belah bambu agar kelompok-kelompok besar yang ada dalam masyarakat dipecah-belah menjadi kelompok kecil, sehingga tidak kuasa (tidak mempunyai kemampuan) melakukan perlawanan, baik secara politik maupun secara militer.

Dalam zaman digital sekarang ini, rupanya politik belah bambu masih menjadi pilihan penyelenggara negara untuk kepentingan kekuasaannya.

Atas nama demokrasi, kita berada dalam situasi seolah-olah, seakan-akan.

Seakan sudah sesuai dengan prosedur. Sudah menjaring aspirasi, sudah sesuai keinginan masyarakat, dengan ribuan jumlah angka banyakjnya pertemuan, luring, daring, dan publikasi gencar aspirasi sudah 75 persen diakomodir. Dan sebagainya. Dan sebagainya.

Proses pembahasan RUU Omnibus Kesehatan yang sedang berlangsung ini, tidak bisa dielakkan dari rumusan politik belah bambu yang diuraikan di atas.

Kalau dulu oleh bangsa penjajah. Sekarang ini namanya OLIGARKI.

Oligarki berkolaborasi dengan penguasa disebut Peng-Peng.

Pengusaha (oligarki) dan penguasa, bergandengan tangan.

Penguasa membentangkan karpet merah kepada pengusaha untuk leluasa menggarap lahan bernama RUU Omnibus Kesehatan.

Sektor kesehatan akan dijadikan lahan investasi dengan alasan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dengan menggunakan instrumen undang-undang yang sudah di-omnibus-kan.

Apakah ini untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat?

Para profesi tenaga kesehatan yang berhimpun dalam organisasi profesi meragukannya.

Bagi mereka, yang terbayang ke depan adalah investor itu seperti lintah darat yang menghisap darah rakyat yang sedang sakit.

Para tenaga medis hanya dapat memandang pilu tidak bisa berbuat apa-apa, karena tangannya telah terikat tidak berkutik atas nama Undang-Undang Omnibus.

Mereka itu, para organisasi profesi, berteriak menolak, melawan, tetapi perlawanan semakin lama semakin lemah, soliditas menurun, karena lawan tidak seimbang, licin, liat dan lentur.

Insan kesehatan sudah pasrah, tidak bisa berharap pada rejim sekarang ini.

Pintu untuk mendapatkan keadilan sepertinya semakin memudar.

Mereka berharap agar rezim ini berakhir sesuai dengan konstitusi melalui Pemilu 2024.

Semoga pemerintahan baru nantinya benar-benar membawa PERUBAHAN. Change or Die. (***)

Oleh: Chazali Husni Situmorang

Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS


Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler