Ondeh...Bareh Solok dalam Catatan Raffles

Minggu, 24 April 2016 – 12:09 WIB
Rangkiang (sebelah kiri) di halaman Rumah Gadang, tahun 1890-an. Foto: Arsip KITLV.

jpnn.com - MINANGKABAU pernah berjaya sebagai pengekspor beras. Pasang surut di zaman Belanda. Membekas dalam catatan perjalanan Thomas Stamford Raffles, si pendiri Singapura.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network  

BACA JUGA: Sebelum Digadang-gadang Belanda, Kartini Hanya...

Pada September 1818, Sir Thomas Stamford Raffles mengirim sepucuk surat kepada Duchess of Somerset. Mengisahkan perjalanannya ke Ranah Minang.

Raffles bercerita, awal Juli 1818 dia meninggalkan Bengkulu--tempat dia menemukan bunga bangkai yang kemudian hari diberi nama Rafflesia Arnoldi--dan berlayar ke Padang. 

BACA JUGA: Kiamat Kecil 201 Tahun Lalu...Pusatnya di Kepulauan Indonesia

Penulis buku The History of Java tersebut tak berlama-lama di pantai Padang. Ditemani Lady Raffles, Thomas Horsfield (pengelana dan penulis buku), beserta serombongan pengawal, Raffles melanjutkan kelana ke pedalaman Minangkabau.

Baru saja meninggalkan Kota Padang ke arah Timur, persisnya di daerah Pauh dan Limau Manis dia sudah menemui hamparan sawah. Menurut Raffles, irigasinya baik. Pola penanamannya pun teratur. 

BACA JUGA: Temuan Terbaru! Inilah Sejarah Hari Maritim

Rangkiang Badiriang

Sebelum mengenal kalender Masehi, pun Hijriah, orang Minang punya kalender padi. Satu tahun padi lebih kurang sama dengan tujuh bulan hitungan kalender kekinian. 

Bagi leluhur Minangkabau, satu tahun padi ada dua bulan. Bulan Manabeh (membersihkan lahan) dan bulan Manyabik (musim panen). 

Padi memang menjadi bagian penting di alam Minangkabau. Satu di antara syarat utuh berdirinya rumah gadang nan sambilan ruang adalah rangkiang badiriang di halamannyo. Rangkiang adalah tempat menyimpan padi.  

Dalam catatan para ambtenaar (pegawai negeri) pemerintahan Hindia Belanda yang doyan membuat laporan, diketahui bahwa Minangkabau adalah eksportir beras.

Merujuk dokumen Swk 128/23 yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia, beras dari Minang diekspor antara lain ke Bengkulu, Aceh, Trumon dan Batavia.

Belanda…Oh Belanda 

Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Andalas Padang, Gusti Asnan bercerita, pada 1830-an pemerintah kolonial pernah memberlakukan larangan ekspor beras.

Akibatnya, orang-orang mulai jarang ke sawah. Produksi padi menurun. Namun itu tak berlangsung lama. 

"Memasuki tahun-tahun pertama 1850-an keadaan telah mulai berubah," tulisnya dalam buku Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera.

"Tahun 1854, dilaporkan panen padi sangat bagus. Dan sejak itu direncanakan untuk membuka areal persawahan baru di kawasan sekitar Pariaman," ungkap Gusti mencuplik arsip kolonial.

Bareh Solok 

Bila di Jawa Barat ada beras Cianjur, di Minang yang cukup sohor beras Solok. 

Dan Raffles, dalam suratnya bercerita… 

Dia terus ke pedalaman Minangkabau hingga tiba di Solok. 

"Bila seseorang baru saja memasuki daerah Selayo (Solok), maka sejauh mata memandang hanya akan terlihat hamparan sawah," tulis Raffles.

Menyimak catatan Raffles pada dua abad lampau ini, di telinga urang awak pasti membayang-dengung lagu Bareh Solok. 

Lagu karangan Nuskan Syarif pada 1960-an, dan dipopulerkan Elly Kasim ini semacam "lagu wajib"  orang Minang. Kalau tak percaya, tanya saja... (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menelusuri Sosok Nyoman Rai Srimben, Ibunda Bung Karno


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler