Sebelum Digadang-gadang Belanda, Kartini Hanya...

Kamis, 21 April 2016 – 12:30 WIB
Laman muka Google memajang gambar Kartini hari ini. Foto: Capture Google.

jpnn.com - NAMA Raden Ajeng Kartini melambung berkat buku Door Duisternis tot Licht. Sebelum itu, Kartini hanya dikenal selingkar pergaulannya saja.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Kiamat Kecil 201 Tahun Lalu...Pusatnya di Kepulauan Indonesia

Begitu mendapat kabar Kartini wafat, J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama dan Karajinan Hindia Belanda lantas mengumpulkan surat-surat Kartini dari para sahabat penanya di Eropa.

Kementrian ini baru diadakan menyusul kebijakan politik etis, awal abad 20. 

BACA JUGA: Temuan Terbaru! Inilah Sejarah Hari Maritim

Surat-surat itu diterbitkan jadi sebuah buku. Abendanon memberi judul Door Duisternis tot Licht. Buku yang cetak ulang hingga lima kali ini, dalam bahasa Melayu artinya dari kegelapan menuju cahaya  

Barulah pada 1922, Armijn Pane menerjemahkan dan menerbitkannya ke bahasa Melayu. 

BACA JUGA: Menelusuri Sosok Nyoman Rai Srimben, Ibunda Bung Karno

Armijn tak hanya menggubah judulnya menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Dia juga menggubah alurnya agar terbaca seperti roman. Dengan begitu, sejumlah surat Kartini di buku suntingan Abendanon tanggal begitu saja--tak terpakai.

Gubahan Armijn Pane inilah yang lebih dikenal khalayak banyak hingga ini hari.

Kendati sebenarnya Kartini "takluk" di kehidupan nyata, semasa tunas pergerakan kemerdekaan Indonesia mulai tumbuh, buku yang diangkat berdasarkan surat-suratnya sangat menginspirasi.

Sujatin Kartowijono, si penggagas Kongres Perempuan Indonesia pertama, 22 Desember 1928 di Yogyakarta--kemudian ditetapkan menjadi Hari Ibu--mengaku dipukau surat Kartini.

Sejak kanak-kanak, "buku ini saya baca berkali-kali," tulisnya dalam Sumbangsihku Bagi Pertiwi. "Saya betul-betul terpana dalam menghayati isi cita-cita Kartini."

Piganta Surat Kartini

Pada 1923, Pemerintahan Hindia Belanda di Yogya menggelar pawai besar-besaran memperingati perayaan 25 Tahun Ratu Wilhelmina. 

Sebagai aktivis Jong Java, Sujatin yang kala itu bersekolah di MULO, ambil bagian. Rombongannya mengusung tema Raden Ajeng Kartini. 

"Kebetulan saya sendiri yang berperan sebagai Raden Ajeng Kartini," kenangnya. 

Pada hari H, rombongan Sujatin mendapat sambutan luar biasa dari rakyat yang membanjiri jalanan. 

Pada acara puncak di Societeit Yogya, panitia mengumumkan rombongan Sujatin sebagai pemenang. 

"Hati rasanya berdetak keras di saat-saat nama saya dipanggil untuk menerima hadiah itu," Sujatin bernostalgia.

Saat melangkah menuju panggung, untuk menerima hadiah yang diserahkan Sri Sultan Hamengkubowono VIII, batin Sujatin berkecamuk. 

Semangat buku Habis Gelap Terbitlah Terang-nya Kartini membayang. 

Di hadapan hadirin, seluruh residen dan pejabat Gubernemen, apakah dia harus terlebih dulu menyembah pada Kanjeng Sultan Yogya--sebagaimana lazim dilakukan zaman itu.

Karena kuatnya piganta surat-surat Kartini, "akhirnya perasaan sayalah yang menang. Saya tidak menyembah Gusti Sultan pada waktu menerima hadiah dari beliau."

Sekian tahun kemudian, saat menggagas Kongres Perempuan pertama, Sujatin lagi-lagi mengusung Raden Ajeng Kartini sebagai topik utama. 

Piganta tak sampai di situ. Wage Rudolf Supratman, wartawan koran Sin Po, terinspirasi membuat lagu Ibu Kita Kartini, sepulang meliput  kongres tersebut. 

Semenjak itu, nama Kartini kian dikenal masyarakat luas… (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sabotase? Pesawat Indonesia ini Jatuh di Malaysia, Padahal Baru Beli


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler