JAKARTA – Ongkos logistik di Indonesia tergolong paling tinggi di dunia, yakni mencapai 24 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Pemerintah pun menargetkan bisa secara bertahap menurunkan ongkos logistik sebesar 10 persen hingga 2015. “Tahun 2015 nanti targetnya ongkos, waktu dan ketidakjelasan bisa 10 persen lebih rendah dari sekarang,” ujar Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawadi di Jakarta, Rabu (15/2).
Edy menyebutkan, upaya pemerintah menurunkan biaya logistik itu ditempuh melalui modernisasi fasilitas pelabuhan utama dan pelabuhan di wilayah timur. Kapasitas angkut armada kapal perintis dan nasional untuk kawasan timur bakal ditingkatkan, demikian juga dengan peran kargo kereta api di wilayah Jawa dan Sumatera.
Selain itu, juga akan ditingkatkan peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) guna memperbaiki sistem logistik serta membangun pusat distribusi regional komoditas pokok dan strategis pada setiap koridor ekonomi. Pemerintah pun akan mengupayakan peningkatan kemampuan penyedia logistik nasional melalui penguatan jaringan serta pemberian insentif dan kemudahan bagi penyelenggara jasa logistik.
Menurut Edy, rencana Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai memulai penerapan sistem pelayanan kepabeanan terpusat secara elektronik juga merupakan usaha menurunkan ongkos dan mempersingkat pelayanan logistik.
Ia menambahkan, pemerintah membutuhkan keterlibatan dari para pelaku usaha untuk mendukung pembenahan sistem logistik nasional. “Tentu ini harus menjadi kerja bersama antara pemerintah dengan pelaku usaha. Karena kemampuan pembiayaan yang rendah, pemerintah akan lebih banyak memberikan dukungan berupa kebijakan,” jelasnya.
Sebelumnya, lembaga pengkajian penelitian dan pengembangan ekonomi Kadin melaporkan, ongkos logistik yang mencapai 24 persen di Indonesia ini tertinggi sedunia. Padahal di negara tetangga seperti Malaysia biaya logistiknya hanya 15 persen. Bahkan di Amerika Serikat dan Jepang masing-masing hanya 10 persen.
Biaya logistik itu terbagi dalam biaya penyimpanan sebesar Rp 546 triliun, biaya transportasi Rp 1.092 triliun, dan biaya administrasi Rp 182 triliun.Selain biaya yang sangat tinggi, mutu pelayanan logistik di Indonesia juga buruk, seperti waktu jeda di Indonesia untuk barang-barang impor tersebut mencapai 5,5 hari, dan biaya angkut yang mahal.
Kondisi itu ditambah dengan prasarana logistik yang masih konvensional seperti jalan, pelabuhan, dan hubungan antar moda. Juga belum terbangunnya konektivitas antara satu lokasi dengan lokasi lainnya, serta pengiriman kontainer ke daerah jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan mengirim kontainer ke luar negeri.
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Institute for Development and Finance (INDEF) Ahmad Erani Yustika, bobroknya infrastruktur di Tanah Air menjadi penyebab tingginya ongkos logistik. Sehingga daya saing produk-produk asal Indonesia kalah jauh.
“Pengurusan dokumen di Tanjung Priok bisa mencapai 6 hari, sementara di Singapura hanya 1 hari. Intinya adalah kita harus bisa menurunkan biaya logistik di bawah 10 persen dari total biaya produksi agar daya saing produk kita bisa mengalahkan negara tetangga seperti Malaysia,” terangnya.
Menurut Erani, hingga November 2011 rata-rata biaya logistik di Inodnesia adalah 17 persen dari total biaya produksi. Sedangkan Singapura hanya 6 persen dan di Malaysia 8 persen.
Menyangkut tersendatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia ini, menurut Erani, hal tersebut disebabkan oleh budaya korupsi. “Pembangunan infrastruktur di Indonesia masalahnya adalah korupsi dan pembebasan lahan. Korupsi di Indonesia sama dengan Filipina dan lebih parah dari Malaysia,” ujarnya.
Kepala Tim Ekonomi PT Bank Negara Indonesia, Ryan Kiryanto berpendapat sebaiknya pembangunan infrastruktur lebih difokuskan pemberdayaan pada bank pelat merah. Bank-bank tersebut perlu didorong guna mengalokasikan sebagian portofolio pembiayaannya untuk sektor infrastruktur. “Bank-bank BUMN didorong untuk menyisihkan 30 persen portofolionya bagi proyek infrastruktur,” katanya. Menurutnya, masalah teknik operasional, pembebasan lahan, dan lain-lain yang membuat pembangunan sektor ini tidak berjalan lancar. (lum)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengembang Diminta Bangun Rumah Tipe 36
Redaktur : Tim Redaksi