OnlyFans

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 29 Maret 2022 – 20:00 WIB
Dea OnlyFans, tersangka kasus dugaan penyebaran konten pornografi. Foto: Fransiskus Adryanto Pratama/JPNN.com

jpnn.com - Revolusi digital membawa dampak luas dalam kehidupan sosial masyarakat. 

Layanan digital membuat hidup makin mudah dan nyaman. 

BACA JUGA: Siapa Calon Tersangka Baru di Kasus Pornografi Dea OnlyFans? Begini Kata Polisi

Namun, di sisi lain, layanan digital membuat banyak orang geregetan karena pengaruh negatif yang makin sulit dibendung. 

Kejahatan dan kekerasan digital terjadi setiap hari. 

BACA JUGA: Terungkap, Begini Cara Dea Mengunggah Konten Asusila di OnlyFans

Konten pornografi bermunculan setiap saat.

Revolusi digital memungkinkan seseorang untuk menjadi apa saja. 

BACA JUGA: Polisi Sebut Situs OnlyFans Tidak Bisa Diblokir, Ini Alasannya

Orang bisa menjadi kaya mendadak melalui pesugihan digital yang melahirkan para crazy rich

Dunia digital memunculkan ‘’self-made celebrity’’, selebritas buatan sendiri. 

Cukup dengan jeprat-jepret foto, lalu mengunggah di Instagram, orang bisa kondang mendadak dan mendapat julukan selebritas Instagram alias selebgram.

Seorang mahasiswa bernama Gusti Ayu Dewanti asal Nganjuk, Jawa Timur, yang kemudian berkuliah di Malang, bermimpi menjadi selebriti digital dengan cara pintas. 

Tidak ada keterampilan khusus yang dimilikinya. 

Dia hanya berbekal wajah dan tubuh untuk dipertontonkan.

Namun, itu lebih dari cukup untuk menjadi modal kosohoran di dunia digital. 

Tidak butuh waktu lama untuk mencapai kesohoran di dunia hiburan. 

Andy Warholl pada 1970-an sudah terkenal dengan mantranya ‘’Fifteen Minutes of Fame’’, lima belas menit kesohoran.

Bak seorang dukun ahli ramal top, Warholl--seniman lukis pencetus gerakan ‘’pop art’’ yang memperkenalkan gaya lukis kontemporer nano-nano penuh warna--membuat pernujuman, ‘’In the future everyone will be wolrd-famous ini 15 minutes’’, di masa depan nanti setiap orang bisa saja menjadi terkenal di seluruh dunia dalam 15 menit.

Fenomena itu sering dipakai untuk merujuk pada manusia yang berkutat pada dunia hiburan, showbiz, dan dunia entertainmen, di area budaya pop di panggung televisi atau media massa. 

Dunia yang serbapintas dan instan menyebabkan setiap orang punya kesempatan untuk menjadi selebritas hanya dalam tempo seperempat jam.

Ungkapan itu tidak orisinal dari Warholl. 

Dia mengadopsinya dari pepatah kuno versi Inggris yang sudah dikenal di era Elizabethan ‘’nine day’s wonder’’ atau keajaiban sembilan hari.

Dalam sembilan hari, semua keajaiban mungkin saja terjadi. 

Warholl mengadopsinya dan mengubah durasi menjadi lebih pendek lagi, hanya 15 menit. 

Zaman itu belum ada internet, tetapi seniman genius dan nyentrik seperti Warholl bisa melihat masa depan seperti seorang yang sakti ‘’weruh sak durunge winarah’’, mengetahui sesuatu sebelum terjadi. 

Fenomena yang dinujumkan itu menjadi kenyataan setengah abad kemudian.

Revolusi digital memungkinkan pernujuman Warholl itu menjadi kenyataan. 

Jauh sebelum itupun kesohoran bisa dicapai dengan jalan pintas. 

Seseorang bisa membeli kesohoran dengan uang. 

Dia memperolehnya dengan cepat, tetapi kesohoran itu akan hilang dalam waktu singkat juga.

Keterkenalan bisa dibeli. Itulah kenyataannya. Banyak orang yang merasa bisa membeli dan memperdagangkan masa depan. 

Banyak yang menyediakan berbagai kontes, mulai dari lomba menyanyi, pamer kecantikan, sampai pamer banyolan, yang bisa menjadi tangga ajaib untuk meloncat menuju keterkenalan.

Mereka yang awalnya hanya orang biasa, lantas jadi idola publik, terkenal dan berkecukupan dalam waktu singkat setelah berhasil memenangi berbagai kontes itu. 

Keterkenalan seolah bisa dicapai dengan cara singkat, tanpa perlu proses panjang.

Namun, tidak semua orang yang merasa bisa membeli masa depan itu mampu bertahan lama. 

Banyak contoh betapa mereka mendadak menghilang hanya dalam hitungan bulan. 

Masa depan yang dibeli itu hanya bertahan singkat. 

Mereka kemudian tenggelam dan dilupakan zaman.

Revolusi digital makin membuai banyak orang untuk meraih mimpi kilat itu. 

Berbagai platform tersedia untuk mereka yang bermimpi menjadi terkenal dan kaya dalam waktu singkat, tanpa perlu proses panjang yang lelah dan membosankan.

Platform digital menyediakan segalanya. Ingin menjadi crazy rich cepat buatlah platform investasi bodong yang menjual mimpi. 

Ingin menjadi bintang pintas belilah subscriber dalam bentuk robot dan botch

Semuanya tersedia dengan mudah asal ada uang.

Di masa lalu, menjual tubuh, adalah pekerjaan memalukan. 

Ada yang melakukannya di pinggir jalan di keremangan malam. 

Memamerkan diri kepada laki-laki iseng, sambil bersiap-siap lari kalau ada razia. 

Ada yang menetap di lokalisasi, ada yang beroperasi secara lebih elite di rumah-rumah bordil.

Platform digital mengubah semua susah payah itu. 

Platform digital menjadi ‘’marketplace’’ pasar tempat pembeli dan penjual bertemu, melakukan bargain, lalu bertransaksi. 

Semua dilakukan dengan cepat dan mudah tanpa harus bertemu muka. Kerahasiaan terjamin, kepercayaan pun terjamin.

Penjual tubuh digital tidak perlu berdiri di pinggir jalan. Cukup masuk ke platform porno atau semiporno, memajang foto-foto, menetapkan tarif, pelanggan datang, dan uang pun mengalir. 

Transaksi bisa berkembang mulai sekadar pamer tubuh sampai layanan yang lebih advance.

Salah satu platform itu bernama OnlyFans

Namanya menarik. Khusus penggemar, kira-kira begitu arti harfiahnya. 

Platform ini menyediakan layanan bagi laki-laki hidung belang untuk memuaskan keinginannya secara berbayar dan berlangganan. 

Laki-laki itu disebut sebagai hidung belang. Entah mengapa. Padahal tidak ada belang di hidungnya. 

Gusti Ayu Dewanti bermimpi terkenal dan kaya dalam 15 menit. 

Dia pun masuk ke platform OnlyFans, memamerkan tubuhnya. 

Pelanggannya berdatangan, membayar lima sampai tujuh dolar untuk melihat foto-fotonya.

Dewanti terkenal dalam tempo 15 menit. 

Dia tidak malu, malah bangga. 

Dia tampil di siniar Deddy Corbuzier dan menjadi viral. 

Konten-konten porno di akunnya makin banyak dibanjiri pelanggan. 

Revolusi digital sudah mengikis rasa malu, anak-anak milenial makin longgar etika dan makin permisif.

Dalam waktu singkat namanya terkenal menjadi ‘’Dea OnlyFans’’. 

Nama panggungnya ‘’Dea’’ terintegrasi menjadi satu dengan nama platformnya. 

Ada kolaborasi yang saling menguntungkan. 

Dea mendapatkan tambahan pelanggan, dan platform mendapat pengunjung yang makin banyak.

Platform digital yang mengeksploitasi pornografi, kekerasan, dan kejahatan di dunia digital tidak peduli dengan dampak moral dan etika. 

Platform digital berdalih bahwa mereka hanya menyediakan layanan dan tidak bertanggung jawab terhadap konten.

Dalihnya, platform bisa dipakai oleh siapa saja secara gratis, karena itu tanggung jawab ada di pemakai. 

Dalih itu dibuat-buat dan tidak masuk akal. 

Platform menjadi kaya raya kalau makin banyak orang yang memakainya. 

Tidak ada yang gratis. Penyedia platform menjadi kaya raya oleh platform itu.

Polisi bertindak menangkap Dea OnlyFans, tetapi platformnya tetap bebas. 

Dea juga tidak ditahan. Alasan polisi karena Dea masih kuliah dan ingin menyelesaikan kuliahnya. 

Standar polisi terlalu longgar dan terkesan menganggap enteng pornografi.

Dalam kasus lain, pasangan di Pasuruan yang mengunggah konten pornografi mirip Dea langsung ditangkap dan ditahan. 

Beberapa waktu yang lalu, seseorang bernama Siskaee ditangkap dan ditahan karena pamer aurat di bandara dan mengunggahnya di akun pribadi untuk mendapat uang.

Namun, terhadap Dea polisi lunak, dan hanya menerapkan wajib lapor dua kali seminggu. 

Perlakuan lunak semacam ini tentu tidak bakal membawa efek jera. 

Para selebritas pornoaksi semacam Dea malah mendapatkan promosi gratis dan menjadi lebih terkenal. 

Andy Warholl benar. Hanya butuh 15 menit untuk menjadi terkenal. (*)


Redaktur : Boy
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler