jpnn.com, JAKARTA - Stand up comedy (komedi tunggal) menjadi salah satu bentuk komunikasi yang potensial untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat, termasuk tentang Presidensi G20 Indonesia.
Menurut Direktur Tata Kelola dan Kemitraan Komunikasi Publik, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Hasyim Gautama, materi tentang G20 yang dibungkus dengan komedi merupakan inovasi yang luar biasa.
BACA JUGA: Kominfo: Tak Perlu Khawatir dengan Perubahan TV Digital
Hal itu disampaikan Hasyim Gautama dalam Workshop Produksi Konten dan Kompetisi Standup Comedy Seputar G20 (Komedi Putar G20), yang digelar di Tangerang, Selasa (8/11).
Dikatakan Hasyim, untuk mengoptimalkan posisi Indonesia sebagai penyelenggara G20 diperlukan komunikasi yang terintegrasi sehingga mampu membangun brand awareness dan reputasi bangsa Indonesia dalam kegiatan tingkat internasional.
BACA JUGA: Komunitas Sopir Truk di Jakarta Perkuat Dukungan Untuk Ganjar Pranowo di Pilpres 2024
Sebagaimana diketahui, penyelenggaraan presidensi G20 tinggal menghitung hari. Puncaknya, akan dilaksanakan KTT G20 di Bali pada 15-16 November 2022.
“Tentu dunia akan menyoroti kita dalam peran sebagai presidensi dan tuan rumah sehingga persiapan yang matang harus kita upayakan dengan optimal,” ujar Hasyim.
BACA JUGA: Wujudkan Indonesia Emas 2045, Jokowi Kebut Infrastruktur Berbasis Digital
Tenaga Ahli Menteri Kominfo, Devi Rahmawati, yang hadir sebagai narasumber dalam workshop menjelaskan isu serius juga dapat disampaikan dengan pendekatan yang lebih santai bahkan lucu.
“Dengan adanya ketegangan dalam keseharian kita, komedi bisa lebih menarik perhatian masyarakat, setidaknya untuk mengetahui ada Presidensi G20 Indonesia," ungkap Devi.
Sementara itu, Komika Vikri Rasta mengatakan komedi merupakan cara yang paling tepat untuk mengkritisi sesuatu yang harus dikritik.
“Hanya melalui komedi, seseorang yang dikritik tetap bisa menanggapinya dengan tertawa,” katanya.
Namun, Vikri juga menjelaskan bahwa seorang komika memiliki batasan dalam diri saat berkarya.
“Kita harus tahu batasannya ada di mana. Dari setiap batasan yang diciptakan dalam berkarya ada konsekuensinya. Nah, setiap konsekuensi itu kembali ke diri kita masing-masing. Mau ambil konsekuensinya atau tidak,” sebut Vikri.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada