jpnn.com, JAKARTA - Kepala Desk Hukum dan Ekonomi Ormit Political Consulting (Ormit) Ivan Panusunan meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) segera menyelesaikan sejumlah kasus di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Ini lantaran banyaknya gugatan dari pengusaha terkait LPEI di berbagai kota. Sedikitnya, ada 117 perkara terkait LPEI dalam laman resmi Mahkamah Agung (MA).
BACA JUGA: LPEI Berkomitmen jadi Agen Transformasi dalam Ekosistem Ekspor Nasional
Terakhir, gugatan terhadap LPEI di Pengadilan Negeri Yogyakarta tercatat pada 6 Februari 2023 dengan penggugat bernama Jamal Ghozy.
Kejaksaan Agung pun telah memulai penyidikan dugaan korupsi dalam kredit macet di LPEI atau Indonesia Eximbank yang diduga menimbulkan kerugian negara hingga triliunan rupiah.
BACA JUGA: Perkuat Sinergi, Indonesia Re Jalin Kerja Sama dengan LPEI
Ivan Panusunan menilai, Kejagung harus segera bertindak cepat mengusut dugaan korupsi di LPEI tersebut.
"Saya kira Kejagung kembali harus menunjukkan tajinya. Karena kasus dugaan korupsi ini sudah di tahap penyidikan," ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima hari ini.
BACA JUGA: UKM Binaan LPEI Ini Mampu Ekspor Buah & Sayuran ke Belanda Hingga Australia
Banyaknya keluhan dan gugatan terhadap LPEI, kata Ivan, menunjukkan bahwa ada masalah serius dalam perusahaan pelat merah tersebut.
"Ini berpotensi menyebabkan kerugian negara lebih besar ke depannya. Bahkan ada yang mengeluhkan dugaan kriminalisasi. Kejagung harus bertindak," tegasnya.
Ketua Umum Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai, kasus dugaan korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI yang diproses Kejagung jadi pintu masuk mengusut masalah yang dikeluhkan pengusaha lokal.
Kasus yang terjadi di LPEI pada 2013-2019 tidaklah kecil sebab Kejagung menaksir kerugian negara mencapai Rp 2,6 triliun.
Kerugian tersebut adalah akibat modus pemberian pembiayaan kepada para debitur tanpa melalui prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan tidak sesuai dengan aturan kebijakan perkreditan LPEI.
LPEI atau Indonesian Eximbank memiliki dasar hukum UU Nomor 2 Tahun 2009 yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang memfasilitasi pembiayaan ekspor, mendukung kegiatan ekspor hingga bimbingan serta jasa konsultasi terkait ekspor.
“Saya dengar ada keluhan dari pengusaha lokal merasa seperti dijebak. Yang seharusnya mendorong ekspor nasional yang berdaya saing tinggi di pasar global. Jebakan itu berujung pada penguasaan aset yang dijaminkan lalu dibeli murah,” ujarnya pada Kamis, 25 Mei 2023.
Berdasarkan laporan keuangan LPEI, lembaga pelat merah ini membukukan rugi bersih sebesa Rp 4,7 triliun pada periode 2019. Padahal pada 2018 LPEI masih mencatatkan laba sebesar Rp 171,6 miliar.
Sepanjang 2019 terjadi penurunan pendapatan bunga dan usaha syariah bersih sebesar 33,45 persen menjadi Rp 1,42 triliun, dibandingkan 2018 senilai Rp 2,13 triliun.
Sementara itu beban pada pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan membengkak hampir 4 kali lipat.
Pada 2018 CKPN hanya Rp 1,7 triliun, sementara pada 2019 menjadi Rp 6,68 triliun.
Selain kerugian, LPEI juga mencatkan penurunan aset hampir 10 persen menjadi Rp 108,7 triliun pada 2019, dibandingkan 2018 senilai Rp 120,1 triliun.
Selain itu, LPEI juga mencatatkan peningkatan Non Performing Loan (NPL) Bruto sebesar 23,39 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan 2019 sebesar 13,73 persen.
Berdasarkan laporan keuangan LPEI pembiayaan dan piutang bermasalah dalam rupiah naik 53,04 persen menjadi Rp 22,88 triliun, dari Rp 14,95 triliun pada 2018.
Sektor perindustrian, pertanian dan sarana pertanian, serta pertambangan mencatatkan peningkatan NPL yang terbesar.
Pada pertengahan 2019, LPEI terkena dampak oleh gagal bayar dari Grup Duniatex dengan total pembiayaan yang disalurkan mencapai Rp 3,04 triliun.(ray/jpnn)
Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean