jpnn.com - DESING baling-baling phantom quadcopter menarik perhatian pengunjung Graha Pena, Surabaya, Selasa (3/6). Satu per satu mendekat, ikut mengintip di monitor kecil yang diletakkan di tripod.
Di sebelahnya, Darwin Prawira, sang fotografer, tampak mengendalikan remote control di tangannya. Sesekali dia melirik monitor. Namun, lebih banyak mengamati laju quadcopter yang kian meninggi.
BACA JUGA: Bekas Feri Cepat, Ditembak karena Boros Bahan Bakar
Sambil mengudarakan pesawat berbaling-baling empat itu, ayah satu anak tersebut menjelaskan satu demi satu keterangan yang tertera di monitor.
Di layar berukuran tujuh inci itu disebutkan angka kecepatan pesawat, kecepatan naik dan turun, angle (sudut) pesawat, koordinat, tinggi, serta jarak mendatar (distance) pesawat dari posisi semula.
BACA JUGA: Tanaman Tepi Jalan yang Tokcer Lawan Kanker
”Pesawat dan monitor dihubungkan dengan wifi. Sebenarnya monitor bisa diganti iPhone dan semacamnya. Jarak pancarnya sekitar 300 meter,” jelas Darwin.
Pria kelahiran Surabaya, 29 Juli 1978, itu sebetulnya belum lama mendalami aerial photography, teknik foto yang tengah dia praktikkan untuk gedung Graha Pena kemarin sembari kami melakukan wawancara.
BACA JUGA: Kawal Anak SMP yang Masih Rentan Berjejaring Sosial
Terhitung baru dua bulan dia menggeluti aerial photography, sejak dirinya memutuskan membeli sebuah quadcopter produksi Tiongkok dan langsung menguji coba untuk foto udara. Peralatan yang digunakan pun masih standar.
Sebuah pesawat, remote control, baterai cadangan, tripod, monitor, dan sebuah kamera GoPro Hero 3+. Tapi, siapa sangka, hasilnya cukup memuaskan untuk seorang aerial photographer pemula.
”Sekitar April–Mei, saya belajar otodidak mengendalikan pesawat dan langsung mencoba foto udara. Spot-spot fotonya masih di sekitar Surabaya, heritage building, dan ikon-ikon kota,” ujarnya.
Foto-foto hasil jepretan wajah Surabaya karya Darwin saat ini masih dipamerkan di Shao Gallery, Grand City Mall & Convex, dengan tema Surabaya from Above hingga 12 Juni mendatang. Bagi Darwin, pameran itu adalah kado ulang tahun bagi kota pahlawan yang dicintainya ini.
Darwin mengakui, tidak mudah merambah dunia aeromodeling, terutama bagi pemula. Sebulan pertama adalah hari-hari yang panjang. Dia berlatih hampir setiap hari. Tak mengenal pagi, siang, dan malam. Di lapangan terbuka dekat rumahnya, kawasan Kertomenanggal, di situlah alumnus Desain Komunikasi Visual Universitas Kristen Petra itu mencoba menerbangkan pesawatnya.
Latihan yang panjang dan niat yang kukuh memang tidak pernah salah. Walau sempat sulit di awal, lihatlah, sekarang dia begitu piawai memainkan remote dan mengatur laju pesawat. Ditambah decak kagum dari dirinya sendiri setiap berhasil mengabadikan foto dari atas, Darwin semakin semangat menerbangkan pesawat dan mencari lokasi-lokasi menarik di penjuru kota.
Aerial photography sendiri kini telah dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan. Sebut saja di dunia properti dan zonasi. Foto udara digunakan untuk menilai daya dukung suatu wilayah, termasuk kepadatan serta penggunaan lahan (land use).
Selain itu, foto udara banyak digunakan untuk kebutuhan pariwisata atau dokumentasi jurnalistik untuk area-area yang sulit dijangkau. Lokasi bencana alam atau kerumunan demonstrasi, misalnya.
Menyadari hal itu, Darwin memang tidak main-main. Bagi Darwin yang memang berprofesi sebagai fotografer, fotografi adalah dunianya. Dengan peralatan yang menunjang untuk aerial photography seperti sekarang, Darwin mulai merambah foto-foto lanskap untuk kebutuhan industri properti atau pariwisata.
”Klub aeromodeling di Surabaya sebenarnya banyak, cuma tidak semua suka fotografi. Sama juga banyak orang yang suka fotografi, tapi tidak banyak yang bisa aeromodeling,” kata Darwin.
Sebelumnya, Darwin sering nimbrung memotret di beberapa helikopter milik swasta atau militer. Bersama ayahnya, Rasmono Sudarjo yang juga seorang fotografer, Darwin kerap diajak ikut berkeliling mengabadikan bentangan lanskapdari udara. Hingga sejak dua bulan lalu, dia memutuskan untuk mencoba sendiri sekaligus membuka studio khusus foto udara miliknya, 3 Sixty.
”Kelemahannya kalau pakai helikopter, selain biaya lebih mahal, jaraknya tidak bisa terlalu dekat. Kalau pakai pesawat remote begini kan enggak masalah, bisa ambil foto dari jarak dekat,” jelas Darwin.
Langkah-langkahnya pun cukup sederhana. Setelah pesawat dan kamera dinyalakan, tunggu beberapa menit sampai pesawat mengunci posisi global positioning system (GPS). Penguncian posisi itu penting untuk menjaga kestabilan dan berjaga-jaga jika pesawat ternyata hilang dari pandangan. Dengan locking posisi, pesawat bisa kembali ke posisi semula.
Setelah stabil, pesawat bisa diterbangkan. Posisi dan ketinggiannya diatur. Kamera yang digunakan akan amat menentukan jenis pesawat. Untuk GoPro Hero 3+ seperti yang digunakan Darwin, cukup ideal dengan phantom quadcopter yang berbaling-baling empat.
”Jika kameranya besar seperti Canon EOS 5D, butuh pesawat lebih besar, misalnya octocopter (berbaling-baling delapan),” kata Darwin.
Karena kamera yang digunakan tidak bisa mengatur zoom-in dan zoom-out seperti kamera kebanyakan serta tidak menggunakan lensa yang bisa diganti-ganti, kemampuan mengendalikan pesawat dan sudut kamera menjadi sangat dibutuhkan. Seni itulah yang menjadi pengukur kualitas seorang aerial photographer.
Berbagai cerita unik pun mewarnai perjalanan seorang Darwin Prawira dalam mendapatkan foto-foto udara. Di Madura, misalnya. Saat memotret sisi Jembatan Suramadu, tiba-tiba angin kencang menerpa dan pesawat kehilangan kendali.
Darwin sempat kebingungan karena tidak berhasil menemukan posisi pesawatnya. ”Ternyata sama nelayan diberi tahu, pesawat saya nyangkut di pohon. Hampir saja nyebur ke laut,” kenang dia.
Tantangan memotret di laut seperti Selat Madura, lanjut dia, memang terletak pada faktor cuaca. Angin kencang kerap datang tiba-tiba dan membahayakan penerbangan pesawat. Lain lagi tantangannya kalau memotret di tengah kota. Di antara gedung-gedung bertingkat, Darwin perlu berhati-hati dalam menerbangkan pesawatnya. Khawatir menabrak.
Gangguan sinyal pemancar saluran telekomunikasi juga kadang berpengaruh. Selain itu, kata dia, perlu berhati-hati menentukan tempat take-off dan landing pesawatnya.
”Selama terbang, kamera akan memotret terus, baterai paling hanya tahan lima menit. Jadi, harus sering bolak-balik untuk ganti baterai,” jelasnya.
”Kalau sedang memotret, misalnya di Madura kemarin, pasti banyak orang yang ngerumuni. Terus ikut lihat dari monitor kayak di sini. Tanya-tanya juga, hehe,” ujarnya lantas terkekeh.
Ke depan, Darwin berencana memulai proyek-proyek foto udara untuk lanskap daerah wisata di Jawa Timur. ”Pasti seru memotret kawah gunung atau tebing pantai dari arah laut,” katanya.
Ya, terbang memang sangat mengasyikkan. (Rima Gusriana Harahap/c7/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terkenal karena Peran Bidadari, Tetap Eksis Meski Berhijab
Redaktur : Tim Redaksi