Pajak Warteg

Jumat, 03 Februari 2012 – 13:13 WIB

jpnn.com - ANDA pernah menghitung berapa omzet warteg alias warung tegal? Coba tebak, berapa duit transaksi mereka setiap hari? Boleh percaya boleh tidak, lebih dari Rp 550.000 per hari. Penjual sego kucing, kaki lima di samping kantor INDOPOS Kebayoran Lama, Jaksel saja, rata-rata di atas itu. Fluktuasi antara Rp 500.000 sampai Rp 600.000,- per malam.

Hanya malam Minggu dan Minggu malam yang paceklik. Menu favouritnya sego kucing, yakni secentong nasi putih dengan secuil ikan pindang plus sambal merah, dibungkus daun dan kertas.

Atau nasi langgi, sekepal nasi dengan potongan tempe bacem goreng, dan cabe merah besar yang tidak terlalu pedas. Di angkringan bertenda orange atau biru, yang remang-remang itu ada banyak pilihan tambahan lauk pauk. Dari tempe gorong, mendoan, tahu isi, tempe-tahu bacem, rondo royal (nama lain tape goreng, red), sate jeroan, cakar ayam, kikil sapi, kepala dan leher ayam, sampai kerupuk dan intip kriyuk.

Minumannya spesialis panas dan hangat. Dari kopi, teh, susu, jahe, dan campurannya, seperti kopi susu, teh jahe, kopi jahe, susu jahe, kopi susu jahe. Biasanya menyediakan es, tetapi stoknya tidak banyak. Kalau ada yang pesan es, sering diledek ,“Radiator sedang bocor ya mas?” Orang Solo, Jogja dan Semarang acap menyebut warung kaki lima model itu sebagai HIK.

Saya tidak tahu persis, HIK itu singkatan apa? Atau punya makna apa? Di setiap perempatan di tiga kota besar di Jateng-DIY itu, dengan mudah ditemui UMKM seperti ini. Jenis minuman dan makanannya lebih variatif . Ada wedang uwuh (uwuh itu artinya sampah, red), ada istilah teh nasgintel yang maksudnya panas legi kentel, panas manis dan kental.

Ada istilah owol, pisang bakar dilumuri susu putih kental manis. Tempat duduknya, kayu panjang mengitari gerobak itu, dengan lampu teplok minyak tanah dan arang bakar yang hangat. Mulai Januari 2012 ini, usaha wong cilik jenis ini pun bisa kena pajak 10 persen. Kalau omzet HIK saja segitu, maka bisa dibayangkan, warteg yang lebih permanen, lebih panjang masa edarnya, lebih besar, lebih banyak pelanggannya, pasti lebih dari Rp 550.000 per hari.

:TERKAIT Dan mereka harus bersiap-siap terima tagihan pajak. Bagaimana teknis penarikan pajaknya? Apakah pemilik atau pengusaha warteg itu datang ke kantor pajak? Melapor dan membayar Pph melalui SPT Tahunan tiap bulan Maret? Atau dibayar Ppn setiap bulan ke kantor pajak? Atau petugas dari kantor pajak menagih ke warteg? Mengecek buku besar dan menghitung setiap transaksi hariannya? Pertama, jika menunggu kesadaran dan kebijakan pemilik warteg untuk datang sendiri ke kantor pajak, ini pasti seperti menunggu pesawat di Lebak Bulus.

Ya, nggak nyambung! Apalagi yang belum pernah berurusan dengan kantor pajak. Pemilik warteg pilih ngumpet, atau memberi pengakuan tidak jujur akan omzet hariannya. Masak, peraturan kok hanya mendidik warganya menjadi “warga penipu”? Jika ini yang terjadi, maka filosofi perda itu tidak masuk hitungan. Kedua, jika petugas yang datang, potensi bocornya juga tinggi. Justru akan menciptakan peluang pungli baru. Pemilik warteg bisa menjadi sapi perahan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Tiap bulan mereka akan absen satu persatu, seperti punya ATM hidup saja. Sama, jika ini yang terjadi, maka pemberlakuan perda ini perlu dikaji ulang. Sebagai produk hukum, Perda No 11 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran itu baik-baik saja. Tidak ada yang salah. Orang atau pihak manapun yang hidup di wilayah hukum DKI Jakarta, dan mendapatkan penghasilan dari usaha di ibu kota, berkewajiban mentaati peraturan yang berlaku. Salah satunya membayar pajak, atas usaha restoran dan warung tegal itu.

Perda itu merupakan turunan dari UU No 28 tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Perda itu juga sudah disosialisasi selama satu tahun, sejak diketok. Prosedurnya, tidak ada yang salah. Hanya cara akseptabilitas sosialisasinya, apa sudah diuji? Apa sudah dipastikan, semua penjual warteg paham akan hak dan kewajibannya itu? Memang, pajak atau retribusi itu kewajiban konsumen. Harusnya dibebankan pada konsumen, melalui pengusaha warteg, setelah itu baru disetor ke kas daerah dalam bentuk pajak.

Jadi, logikanya, pajak itu tidak mempengaruhi pendapatan bersih warteg. Asal, mereka berani menaikkan harga jual semua jenis makanan dan minuman minimal 10 persen. Kenaikan harga itulah yang menjadi hak daerah.

Tetapi, apa mudah mengubah struktur harga? Menaikkan harga? Sedang mereka juga harus bersaing dengan warteg-warteg lain yang jumlahnya banyak, tersebar di mana-mana? Kalau kompetitor menahan diri tidak naik harga, apa berani nekat menaikkan harga sendirian? Apa konsumen di kelas ini bisa loyal? Bukankan mereka selalu mencari makanan yang lebih enak, lebih banyak dan lebih murah? Perda ini, cita-citanya amat mulia.

Sebagai CEO Provinsi DKI Jakarta, Gubernur Fauzi Bowo pasti ingin performance PAD naik optimal. Sayang, sasaran tembaknya adalah pedagang warung tegal, yang hanya dibidik dari sisi omzet tahunan minimal Rp 200 juta saja. Yang, jika dibagi 360 hari, maka setiap hari menjadi Rp 550.000,-. Tidak dipelajari struktur biaya yang ada.

Membaca omzet saja bisa tertipu, tanpa melihat biaya-biaya di lajur bawahnya. Omzet besar belum tentu berlaba operasional besar. Omzet warteg boleh saja besar, tetapi komponen biayanya juga tidak kecil. Apalagi, April 2012 nanti sudah disambut dengan BBM naik, BBM bersubsidi dicabut, dan TDL juga naik? Inflasi akan merangkak naik, entah berapa? Pengusaha warteg itu tidak pernah menghitung biaya tenaga kerja, termasuk dirinya sendiri yang pontang-panting dari pagi sampai pagi lagi.

Dari mana mendeteksi indikator NPM (net profit margin) atau profit on sales warteg? Apa petugas bisa mendapatkan penjelasan yang akurat, dari pemilik wartag nilai penjualan yang tersisa, setelah dikurangi seluruh biaya, termasuk bunga dan pajak? Diukur dari rasio antara laba bersih setelah pajak dibagi dengan total penjualan? Kalau NPM hanya 10 atau kurang dari itu, lalu harus membayar pajak 10 persen, maka bisa dipastikan akan menuju kebangkrutan.

Apakah warteg sudah memiliki laporan keuangan yang standar? Boro-boro laporan keuangan, catatan jurnal debet-kredit saja mungkin tidak ada? Nah, apakah Pemprov DKI sudah pernah mengadakan pelatihan khusus cara menghitung laba rugi dan neraca keuangan kepada mereka itu? Kalau belum, bagaimana bisa tahu volume usaha warteg yang menjadi objek pajak itu? Kalau tidak tahu, bagaimana bisa membuat tagihan pajak? Kalau tidak ada tagihan, bagaimana mereka mau membayar? Kalau ada tagihan yang tidak sesuai dengan faktanya, apa tidak menimbulkan pungli-pungli baru? Kok seperti kehabisan ide memaksimalkan potensi di sektor yang lebih masuk akal? Hotel, hiburan, restoran besar, parkir? Bagaimana kalau petugas bermuka seram datang? Mengancam, menggebrak, dan membawa pita segel ke tempat usaha wartegnya? Maka jawabannya tinggal: “Wani Piro?”

(*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi, Direktur INDOPOS, dan Wadir Jawa Pos.


BACA ARTIKEL LAINNYA... Kursi Museum Banggar

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler