Pajaki Alat Berat, Pemda Dinilai Ngawur

Rabu, 15 Februari 2012 – 22:02 WIB

JAKARTA --- Alat berat sebagai alat bantu pekerjaan di berbagai sektor, sekalipun menggunakan roda dan motor dalam operasinya, hanya berfungsi sebagai alat bantu produksi, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai kendaraan bermotor. Apalagi, sebagian besar alat berat tidak menggunakan  jalan (on road) dalam pengoperasiannya. Dengan demikian, tidak tepat bila mengenakan pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama terhadap alat berat.

“Pengenaan pajak kendaraan bermotor terhadap alat berat, seperti termaktub dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, akan mengganggu pekerjaan di berbagai sektor. Hal inilah yang melandasi sejumlah pengusaha mengajukan judicial review terhadap UU tersebut,” jelas Ali Nurdin dari Kantor Constitution Centre Adnan Buyung Nasution, Rabu (15/2), yang mewakili tujuh pengusaha dari berbagai sektor dalam  Permohonan Pengujian UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Usai sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan yang diajukan tujuh pengusaha (PT Bukit Makmur Mandiri Utama, PT Pamapersada Nusantara (PAMA), PT Swa Kelola Sukses, PT Ricobana Abadi, PT Nipindo Prima Mesin, PT Lobunta Kencana Raya, PT  Uniteda Arkato), Ali Nurdin menjelaskan kepentingan para pengusaha sebenarnya adalah juga kepentingan pemerintah.  Bila pengusaha dikenakan berbagai bentuk pajak yang tidak jelas, maka akan berujung pada ekonomi biaya tinggi, sehingga menghambat pembangunan secara nasional.

Sebelumnya, saat sidang pertama di MK akhir bulan lalu, Adnan Buyung Nasution menegaskan setiap benda tentu tidak bisa serta-merta ditarik pajak oleh negara. Penarikan pajak harus ada pertimbangan dan dasar hukum yang jelas. "Tidak bisa serta merta suatu barang diwajibkan bayar pajak kalau memang sebenarnya tidak ada dasar dan alasannya untuk dibayarkan," tegasnya.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Perusahaan Pengelola Alat Berat/Alat Konstruksi Indonesia (APPAKSI) Sjahrial Ong menyesalkan adanya pemahaman yang tidak mendalam tentang alat berat. “Hanya mendengar sekilas, kepentingan sekilas, kepentingan jangka pendek, melupakan kepentingan nasional  dan jangka panjang,” katanya.

Di era otonomi daerah ini, masing-masing daerah ingin maju, sehingga masing-masing pula memiliki policy berbeda. Ada daerah yang melihat alat berat sebagai sumber pemasukan. “Short term, maka dihajarlah pajak kendaraan bermotor dan segala macam dengan pemikiran yang diasumsikan sendiri tanpa melihat kepentingan nasional dan internasional,” ujarnya.

Sjahrial tidak membantah memang ada kelompok alat berat yang bisa dikenakan pajak kendaraan bermotor, yakni alat berat yang on road. “Kalau on road otomatis harus ada BPKB dan harus bayar road tax. Tapi, kalau off road  tidak bisa dikatakan road tax. Alat berat itu sangat luas, maka harus dipilah-pilah,” tandasnya.

Senada dengannya, Kepala Cabang III PT PP (Persero) Tbk Hadjar Seti Adji menekankan pada akan terjadinya ekonomi biaya tinggi bila alat berat dikenakan pajak kendaraan bermotor.  Pengenaan pajak baru pada alat berat, akan menaikkan biaya konstruksi. Hal tersebut kemudian dipastikan akan menaikkan biaya investasi yang berdampak pada menurunnya kapasitas pembangunan infrastruktur.

Dalam Prioritas Pembangunan Infrastruktur dan Energi 2012, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat kebutuhan infrastruktur sebesar  Rp1,423 triliun. Sedangkan kemampuan pemerintah hanya Rp451 triliun atau 31% saja. Ada gap sebesar Rp978 triliun atau 69% yang diharapkan dapat didanai melalui investasi pengembangan kerjasama pemerintah dan swasta (KPS), privatisasi, corporate social responsibility (CSR), dan partisipasi masyarakat.

“Ketika ada kebijakan suatu biaya pajak alat berat naik, maka risiko biaya konstruksi naik, ketika biaya konstruksi naik dan kontraktor tidak mau ambil risiko, maka biaya itu terutama ditanggung investor. Kalau memang investor mau, tidak masalah, tapi kalau tidak mau, maka ujung-ujungnya akan dikembalikan ke pemerintah,” urai Hadjar.

Berdasarkan hitungan umum struktur biaya jasa kontraktor, jelas Hadjar, laba bersih dari sebuah proyek hanya sebesar 2,5%. Asumsinya, nilai kontrak 100% dikurangi biaya produksi proyek 90%, sehingga diperoleh laba kotor 10%. Dari laba kotor itu akan dikurangi lagi dengan PPh Jasa Konstruksi sebesar 3%, overhead perusahaan 2,5%, dan bunga bank 2%.

“Sehingga laba bersih yang tersisa hanya 2,5%. Kalau alat berat itu dikenakan pajak, logikanya menaikkan biaya konstruksi. Kalau saya tahu rugi, untuk apa saya jadi kontraktor,” tandasnya. (sam/jpnn)


BACA ARTIKEL LAINNYA... KKP Bangun Rumah Sakit Ikan Rp 26 Miliar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler