jpnn.com - Pernyataan Prof. Kishore Mahbubani bahwa Jokowi adalah presiden jenius mendapat liputan luas dan memantik kontroversi terbuka.
Artikel yang ditulisnya menyebar luas dan dikutip oleh hampir semua media massa. Para politisi berdebat antara yang pro dan kontra. Lovers dan haters Jokowi saling serang dan terlibat perang di media sosial.
BACA JUGA: Ichsanuddin Noorsy Keluarkan Pernyataan Keras untuk Jokowi, Ada Kata Terdikte Asing
Prof. Mahbubani adalah intelektual internasional dari Singapura. Ia masuk dalam daftar 100 intelektual paling berpengaruh di dunia. buku-buku karyanya menjadi bacaan wajib di berbagai universitas Asia, Eropa, dan Amerika.
Meski begitu, namanya tidak dikenal luas di Indonesia, kecuali dalam lingkungan terbatas di kampus tertentu, atau di komunitas ilmuwan sosial tertentu. Para politisi dan pendebat--yang suka gontok-gontokan di media--tidak banyak yang tahu reputasinya, apalagi membaca buku-bukunya.
BACA JUGA: Bapak Presiden Joko Widodo yang Terhormat, Saya Mohon Bantuannya Memulangkan Ibu Saya
Dalam banyak perdebatan di media massa, mereka yang pro maupun yang kontra tidak terlihat mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai Prof. Mahbubani dan karya-karyanya. Bahkan, rata-rata tidak bisa mengingat nama atau mengeja nama Prof. Mahbubani dengan benar.
Toh, itu tidak menjadi halangan untuk saling berdebat dan bersitegang mengenai pernyataan Prof. Mahbubani. Bagi mereka, tampaknya, tidak penting memahami pemikiran seorang intelektual dan latar belakangnya sebelum memperdebatkan hasil pemikirannya.
BACA JUGA: Mas AHY: Bapak Joko Widodo Telah Menunaikan Janji
Yang penting debat, yang penting saling hujat. Itulah ciri khas pertunjukan 'politainment', politik entertainment yang ditayangkan di televisi dan berbagai platform media di Indonesia.
Tidak banyak yang tahu, ternyata, hampir bersamaan dengan heboh artikel Prof. Mahbubani, muncul artikel mengenai Jokowi dari seorang profesor yang tidak kalah mentereng kredensial dan reputasinya dibanding Mahbubani. Dia adalah Prof. William Liddle atau lebih dikenal sebagai Prof. Bill Liddle.
Di kalangan intelektual Indonesia Prof. Liddle sering dipanggil dengan panggilan akrab 'Pak Bill'.
Di kalangan kampus dan pemerhati politik Indonesia nama Pak Bill jauh lebih mentereng dan dihormati dibanding Mahbubani. Pak Bill layak disebut ‘’suhu’’ karena pengetahuan dan pengalamannya yang 'ngelontok' mengenai politik Indonesia.
Ia guru besar ilmu politik dari Ohio State University, Amerika Serikat yang sudah melahirkan ratusan ilmuwan dan pengamat politik terkemuka Indonesia. Pak Bill melakukan pengamatan politik di Indonesia sejak 1960-an sampai sekarang.
Kali ini Pak Bill menulis bersama Saiful Mujani, salah seorang pengamat politik terkemuka yang juga murid Pak Bill. Tulisan itu tayang di jurnal internasional ‘’Journal of Democracy’’ edisi Oktober 2021, nomor 4 volume 32, dengan judul ‘’Indonesia: Jokowi Sidelines Democracy’’ (Indonesia: Jokowi Meminggirkan Demokrasi).
Analisis Pak Bill berbalik 180 derajat dari Prof. Mahbubani. Dalam artikel 15 halaman itu Pak Bill menampilkan sejumlah fakta hasil penelitian, yang menunjukkan bahwa selama tujuh tahun memerintah Indonesia Jokowi tidak ada jenius-jeniusnya dalam mengelola demokrasi.
Malah sebaliknya, demokrasi di Indonesia jeblok dan mundur.
Tentu, Pak Bill tidak merespons artikel Prof. Mahbubani. Pak Bill juga tidak menyebut-nyebut satu kata pun mengenai jenius atau jeblok. Pak Bill sangat berhati-hati dalam membuat diksi, dan menghindari penggunaan istilah yang bombastis seperti yang dilakukan Prof. Mahbubani.
Pak Bill berusaha keras untuk menghindari serangan terhadap Jokowi. Karena itu narasi yang dipilihnya sangat netral dan hati-hati, khas seorang intelektual kelas dewa. Toh begitu, kesimpulannya sangat menohok dan bisa membuat KO di ronde pertama.
Pada kalimat pembuka, Pak Bill menulis, ‘’Ada kesepakatan luas bahwa demokrasi sedang merosot. Demokrasi liberal berubah menjadi demokrasi illiberal atau demokrasi elektoral, sementara demokrasi elektoral tergelincir menuju autokrasi, dan autokrasi menjadi makin dalam menjadi otoritarian. Pelaku utamanya adalah para elite politik yang justru dipilih secara demokratis’’.
Kalimat pembuka ini tajam dan tanpa ‘’tedeng aling-aling’’, tetapi netral dan tidak mengadili, karena tidak menyebutkan siapa dan di mana. Tidak disebutkan apakah atribusi negatif itu terjadi di Indonesia atau Uganda.
Namun, di alinea kedua Pak Bill sudah langsung menukik, menyebut Indonesia sebagai salah satu contoh negara yang sedang mengalami kemerosotan demokrasi. Selama tujuh tahun memimpin Indonesia, Jokowi secara sengaja mengekang kebebasan sipil (civil liberty) dan melemahkan mekanisme ‘’checks and balances’’ di parlemen, sambil mengeklaim dia melindungi demokrasi elektoral.
Bahkan, klaimnya bahwa dia melindungi demokrasi elektoral menunjukkan bukti sebaliknya, karena demokrasi elektoral pun sedang mengalami ketergelinciran. Fenomena itu bisa ditelusuri sejak Jokowi memenangi pilpres pertama melawan Prabowo Subianto pada 2014 dengan kemenangan 53 persen.
Sejak itu, Jokowi sudah terlihat lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi dengan membangun berbagai sarana infrastruktur di seluruh Indonesia. Jokowi berkeyakinan bahwa pembangunan ekonomi yang mantap akan menjadi fondasi yang kokoh bagi demokrasi yang sehat.
karena itu, Jokowi meminggirkan demokrasi dan membiarkannya menunggu sampai pembangunan ekonomi yang modern selesai. Dari situ baru demokrasi diyakini akan tumbuh kuat. Peminggiran demokrasi dan prioritasi ekonomi ini menghadapi risiko, terutama karena makin luasnya polarisasi beragama dan munculnya ancaman pandemi sejak awal 2020.
Para pendukung demokrasi di Indonesia sekarang dihadapkan pada pilihan yang sulit antara prioritas ekonomi atau demokrasi. Haruskah mereka menerima kondisi demokrasi yang tertekan demi pembangunan ekonomi, padahal dalam kenyataannya Jokowi melakukan kerusakan yang lebih besar terhadap demokrasi.
Pertanyaan yang dihadapi oleh para pendukung demokrasi adalah, apakah Jokowi bisa mewujudkan janjinya dalam waktu yang sudah makin memburu ini. Menurut Pak Bill, kalau Jokowi ternyata salah dengan strateginya maka institusi demokrasi di Indonesia tidak akan bisa bertahan.
Pak Bill kemudian menjelaskan perjalanan demokrasi di Indonesia sejak era kemerdekaan sampai dengan pelaksanaan demokrasi liberal di bawah kepemimpinan Soekarno.
Pemilu pertama 1955 menghasilkan demokrasi liberal yang dinamis, sebelum kemudian dihentikan oleh Soekarno melalui dekrit 1959.
Soekarno kemudian memperkenalkan konsep demokrasi terpimpin, yang dalam praktiknya adalah demokrasi otoritarian. Jenderal Soeharto merebut kekuasaan politik dari Soekarno dan memerintah secara otoriter selama 32 tahun.
Soeharto mengundurkan diri karena krisis ekonomi dan tekanan demonstrasi mahasiswa yang menuntut reformasi pada 1998. Sepeninggalan Soeharto, Indonesia menghidupkan kembali demokrasi sebagaimana pengalaman 1955.
Namun, kata Pak Bill, demokrasi Indonesia sekarang sedang dibongkar dan mengalami kemunduran, dan malah sudah bergerak menuju otoritarianisme. Kemerosotan itu, terlihat dari beberapa faktor, yaitu kejujuran dalam pemilu (electoral integrity), kebebasan sipil (civil liberties), kontrol terhadap kekuasaan eksekutif, lemahnya oposisi di parlemen, partisipasi publik yang turun, pelaksanaan hukum yang tidak independen, dan keterlibatan militer dalam politik.
Kemerosotan pada tujuh komponen demokrasi itulah yang dilihat oleh Pak Bill sebagai indikasi merosotnya demokrasi di Indonesia.
Pak Bill mengatakan bahwa komitmen masyarakat Indonesia terhadap demokrasi masih tetap sangat kuat, meskipun dalam kondisi sulit karena pandemi seperti sekarang ini. Publik Indonesia tetap menginginkan pemerintahan yang demokratis, dan menolak ‘’pemimpin kuat’’ yang tidak demokratis.
Pak Bill menyoroti terjadinya iregularitas dalam pelaksanaan pemilu 2019 yang digabung antara pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Karena beratnya beban kerja, banyak petugas yang meninggal dunia. Karena itu banyak yang mengusulkan agar pelaksanaannya dipisah.
Namun, pemerintah Jokowi terlihat akan tetap mempertahankannya pada pemilu 2024.
Pilkada serentak pada 2020 juga dianggap sebagai iregularitas demokrasi. Perhelatan itu tetap dilaksanakan di tengah kondisi pandemi yang masih tinggi. Masukan dari komunitas kesehatan agar pilkada serentak ditunda, tidak diindahkan oleh Jokowi.
Pak Bill mengutip survei yang dilakukan Freedom House yang menempatkan Indonesia pada posisi ‘’partly free’’ pada 2005. Posisi itu bertahan sampai 2013 ketika Jokowi masih menjadi gubernur DKI.
Ranking Indonesia merosot pada 2017 setelah Jokowi menjadi presiden.
Dari skor tertinggi 65, skor Indonesia merosot menjadi 62 lalu turun lagi menjadi 61, dan kemudian terakhir hanya mengumpulkan skor 59. Untung Indonesia masih masuk dalam kategori ‘’partly free’’ meskipun rankingnya mepet.
Hasil penelitian Pak Bill ini jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dibanding tulisan Kishore Mahbubani yang tidak didasari dengan riset yang standar. Hasilnya berbalik 180 derajat. Mahbubani menyebut Jokowi jenius, tetapi Pak Bill menyimpulkan Jokowi jeblok.
Kalimat pertama tulisan Mahbubani mengatakan, ‘’berita buruk menyebar, dan berita baik tinggal di tempat’’. Tulisan Pak Bill ini masuk kategori baik atau buruk? Terserah Anda. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror