jpnn.com - JAKARTA – Berbagai kebijakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat memimpin ibu kota kembali menuai kritik. Akademisi dan praktisi yang tergabung dalam Forum Kampung Kota terang-terangan mengkritik pria yang akrab disapa Ahok itu.
Kelompok itu terdiri dari beberapa kalangan. Di antaranya Deny Tjakra dari Pekerja Kemanusiaan, Iwan Febriyanto (konsultan penelitian social protection), Ariko Andikabina (arsitek), Rita Padawangi (peneliti yang tinggal di Singapura), Amalinda Savirani (dosen Fisipol UGM) dan Bosman Batubara (Mahasiswa doktoral di UNESCO-IHE dan UvA).
BACA JUGA: KPU Siapkan Aturan soal Sanksi Petahana Tolak Cuti
Dalam surat terbuka yang dikirim, Forum Kampung Kota membeberkan lima “dosa” Ahok selama memimpin Jakarta. Salah satunya ialah meningkatnya angka kemiskinan di Jakarta.
Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, indeks gini di Jakarta naik dari 0,43 pada 2014 menjadi 0,46 tahun lalu. Menurut mereka, hal itu menjadi bukti timpangnya sosial ekonomi di Jakarta.
BACA JUGA: Tiket PPP Tak Laku di Pilkada
Selain itu, data dari BPS juga menyebutkan jumlah warga miskin bertambah 5.630. Angka itu dianggap representasi jebloknya kinerja Pemprov DKI dalam menyejahterakan warga miskin.
Mereka juga menyoroti tingginya penggusuran. Data dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menyebutkan, sebanyak 113 penggusuran paksa dilakukan Pemprov DKI selama 2015.
BACA JUGA: KPU Siap Ubah Jadwal Pilkada jika...
Sebanyak 8.145 kepala keluarga menjadi korban. Selain itu, ada juga 6.283 unit usaha yang menjadi korban. Ironisnya, sebanyak 67 persen di antaranya dibiarkan tanpa solusi.
Kekerasan yang digunakan Pemprov DKI saat penggusuran juga tak luput dari sorotan. Penggusuran paksa warga miskin itu dilakukan dengan melibatkan tentara. Dari 113 penggusuran, TNI terlibat 65 kali.
Menurut mereka, hal ini bertentangan dengan UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). UU tersebut menyebutkan bahwa TNI hanya memiliki kewenangan dalam isu pertahanan, bukan keamanan dan ketertiban umum.
Pemprov DKI juga dinilai lebih berpihak pada korporasi ketimbang warga. Hal itu seperti yang terungkap dalam kajian yang dilakukan doktor hukum lulusan Universitas Sorbonne Mahmud Syaltout.
Dari dokumen hukum yang ada dalam website Pemprov DKI, dengan materi sepuluh produk peraturan terkait reklamasi di Teluk Jakarta, menggunakan instrumen CAQDAS (Computer Assisted Qualitative Data Analysis) dan perangkat halus MAXQDA 12, ditemukan kuatnya orientasi kebijakan Pemprov DKI terhadap korporasi ketimbang terhadap warga.
Dari dokumen regulasi itu ditemukan kata “reklamasi” disebut sebanyak 632 kali, kata “korporasi” (123 kali,) dan kata “rakyat” atau “masyarakat” (31 kali).
Keberpihakan pada korporasi dapat dilihat dari Peraturan Gubernur Nomor 175 Tahun 2015 tentang Pengenaan Kompensasi terhadap Pelampauan Nilai Koefisien Lantai Bangunan.
Kebijakan ini memberikan kuasa absolut pada gubernur untuk memberikan izin meninggikan bangunan berdasarkan “umus kompensasi peninggian bangunan, tanpa batas.
Peraturan ini melecehkan produk regulasi terkait seperti UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, Perda No 1/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan Perda No 1/2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Tak hanya itu, kebebasan berpendapat di Jakarta juga dinilai semakin melemah. Enam pemaksaan pembatalan acara terjadi di Jakarta dalam beberapa bulan terakhir.
Selain itu, Pemprov DKI membatasi lokasi kegiatan demonstrasi di Jakarta, sesuai dengan Pergub No 288 tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka.
Pemprov melalui gubernur juga mengusulkan mengisi water canon dengan bensin untuk mengatasi pengunjuk rasa. Kebijakan ini sebuah langkah mundur bagi demokrasi di Indonesia.
Dari lima poin itu, Forum Kampung Kota menilai Ahok sebagai pemimpin yang tak mau mendengar dan tidak berempati pada rakyat miskin. Tindakan Ahok juga dianggap menciptakan polarisasi dan bisa memecah belah warga.
Karena itu, mereka mendesak PDI Perjuangan untuk menolak pencalonan Ahok sebagai kandidat Gubernur Jakarta dalam Pilkada 2017 nanti. Mereka yakin, tak ada basis moral dan ideologi yang bisa dijadikan dasar bagi PDIP untuk mendukung Ahok.
“Kami percaya, Ibu Megawati (Ketum PDIP) memiliki hati nurani yang berpihak pada kedaulatan warga negara yang paling tersisih secara ekonomi, dan sosial. Seperti kami juga yang percaya bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan,” demikian tulis Forum Kampung Kota dalam rilis yang dikirim.
Mereka juga melontarkan ingatan ketika Jakarta dipimpin Joko Widodo lalu. Saat Jokowi menjadi presiden, mereka rela dan mendukung pergeseran itu.
“Kami berharap gubernur pengganti akan meneruskan semangat pendahulunya selalu melibatkan warga dalam mengambil keputusan strategis. Namun, harapan kami terus mengabur. Kebijakan-kebijakan Pemprov DKI terus menjauh dari nilai-nilai keadilan bagi warga miskin ibu kota,” tambah pernyataan Forum Kampung Kota. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 25 Persen Warga Pendukung Ahok Berpotensi Alihkan Dukungan
Redaktur : Tim Redaksi