jpnn.com, JAKARTA - Anggota Fraksi PKS DPR RI Sigit Sosiantomo meminta pemerintah selektif dalam merencanakan belanja infrastruktur agar bisa membangun Indonesia Maju di 2045 dan menjadi mesin baru pertumbuhan ekonomi dunia.
Hal itu disampaikan Sigit mengingat selama periode pertama pemerintahan Jokowi alokasi anggaran infrastruktur yang tinggi tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan.
BACA JUGA: Catat! Papua Butuh Perhatian Kemanusiaan Bukan Infrastruktur
“Selama periode pertama Pak Jokowi, alokasi anggaran infrastruktur memang naik 100 persen dari Rp206,6 triliun di tahun 2014 menjadi Rp415 triliun di tahun 2019. Dan kita apresiasi itu. Sayangnya, kenaikan anggaran infrastruktur itu tidak diikuti dengan penurunan angka kemiskinan yang signifikan, hanya 1,55 persen. Dan angka pertumbuhan stagnan di 5 persen. Ini sangat menyedihkan,” Kata Sigit dalam keterangan pers, Selasa (22/10/2019).
Seharusnya, kata Sigit, kenaikan anggaran infrastruktur yang tinggi berdampak pada penurunan angka kemiskinan karena anggaran infrastruktur dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan pekerja. Namun, berdasarkan data BPS, penurunan angka kemiskinan selama periode I Jokowi hanya turun 1,55 persen dari sekitar 10,96 persen di bulan September 2014 menjadi 9,41 persen di bulan Maret 2019.
“Alokasi infrastruktur naik 100 persen, tetapi hasilnya sangat jauh dari yang diharapkan. Bahkan bertolak belakang dari keinginan presiden yang optimis tahun 2045 seabad Indonesia merdeka Indonesia menjadi negara maju dengan penghasilan rata-rata per orang per bulan Rp27juta rupiah,” kata Sigit.
Menurut Sigit, dari pengalamanan menjabat sebagai anggota DPR RI selama dua periode, pertumbuhan ekonomi 5 persen tidak cukup untuk menurunkan angka kemiskinan secara signifikan, termasuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan membebaskan rakyat dari biaya pendidikan dan memberikan jaminan kesehatan bagi rakyat.
“Jadi, ke depan, peningkatan anggaran infrastruktur harus diikuti dengan perencanaan yang matang dan selektif. Uangnya mau dialokasikan untuk infrastruktur yang seperti apa sehingga bisa benar-benar dirasakan manfaatnya,” kata Sigit.
Hal ini diperkuat dengan laporan Bank Dunia yang menyatakan Proyek Infrastruktur Jokowi diperiode lalu berkualitas rendah. Dalam laporan bertajuk Infrastructure Sector Assessment Program, Juni 2018, Bank Dunia menyampaikan Pembangunan infrastuktur Indoneisa tidak memiliki kesiapan, dan tak terencana secara matang. Bank Dunia menilai Bappenas kekurangan sumber daya manusia (SDM) dan anggaran memadai, untuk mengkoordinasi Goverment Contractinf Agency (CGA) sehingga memberika hasil analisis terbaik untuk setiap proyek. Hal ini membuat Indonesia kalah bersaing investasi dengan Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina dam Vietnam.
Peringkat Daya Saing Indonesia dalam Global Competitiveness Index yang dirilis World Economic Forum (WEF) tahun 2019 ini juga turun ke posisi 50. Salah satu indeks yang diukur adalah infrastruktur yang juga turun ke posisi 72. Artinya, pembangunan infrastruktur yang masif masih belum tepat sasaran. Perlu perencanaan yang tepat, implementasi yang benar agar menumbuhkan perekonomian yang tinggi.
“Para pakar ekonomi berteori tentang ekonomi maritimlah yang akan membuat Indonesia maju. Teapi, kenyataan biaya pelabuhan dan transportasi laut belum menjadi berita yang menggembirakan. Disparitas harga dan angka kecelakaan masih tinggi dan konektivitas antar pelabuhan yang melayani pulau-pulau terpencil masih menjadi persoalan yang memprihatinkan,” kata Sigit.
Untuk itu, Sigit menyarankan agar peningkatan anggaran infrastuktur maritim menjadi prioritas dalam program pembangunan infrastruktur Jokowi di periode kedua ini.
“Persoalan diatas harus dipikirkan oleh Presiden dan mentrinya serta para pakar ekonomi untuk merubah alokasi anggaran sehinggg bisa menjadi trigger pelompatan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7-8 persen per tahun dan bisa menjadikan Indonesia sebagai mesin baru pertumbuhan ekonomi dunia,” kata Sigit.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich