jpnn.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama DPR dinilai bisa menempuh jalan tengah untuk mengakhiri gelombang penolakan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi kepada jpnn.com, Selasa (13/10).
BACA JUGA: Jika UU Cipta Kerja Dibatalkan, Indonesia akan Sulit Maju
Dia menyebut penjelasan presiden mengenai UU Cipta Kerja kepada publik nyatanya tak mengakhiri polemik atas hadirnya omnibus law.
Bahkan, anggapan mengenai sejumlah substansi norma di UU Cipta Kerja sebagai informasi bohong (hoax), juga tidak mampu membendung narasi penolakan.
BACA JUGA: Prof Syarifuddin Tippe Komentari Pidato Jokowi Soal UU Cipta Kerja, Begini Katanya
"Sejumlah substansi yang disebut bersumber dari informasi hoax nyatanya secara substansi tetap dianggap bermasalah," ucap Ferdian.
Mantan wartawan ini juga memandang bahwa dorongan dan seruan Presiden Jokowi agar pihak-pihak yang tidak puas dengan keputusan bersama DPR dan pemerintah di UU Cipta Kerja bisa menempuh judicial review juga bukan solusi.
BACA JUGA: UU Cipta Kerja Cegah Tanah Negara Diserobot Korporasi
"Betul, judicial review merupakan mekanisme konstitusional, namun persoalan yang muncul di UU Cipta Kerja ini adalah persoalan substansial yakni tentang partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pembahasan yang dianggap minim," tuturnya.
Nah, persoalan itu menurutnya tidak bisa diselesaikan lewat jalan pintas melalui ruang persidangan di MK. Menurut Ferdian, ruangnya harus dikembalikan di parlemen sebagai tempat persemaian ide dan aspirasi warga negara.
"Warga negara dan badan-badan negara dapat berembuk di DPR. Bukan berhadap-hadapan di ruang pengadilan di MK," tegasnya.
Karena itu, pengajar Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya ini mendorong Presiden dan DPR untuk mengembalikan ruang perdebatan dan dialektika secara konstitusional antara warga negara dengan negara dengan melakukan legislative review di DPR.
Lewat mekanisme ini, perubahan sejumlah norma di UU Cipta Kerja dilakukan melalui DPR yang dilakukan bersama-sama antara dengan Presiden.
"Pilihan ini merupakan langkah moderat sekaligus sebagai koreksi atas pengambilan keputusan terhadap UU Cipta Kerja oleh Presiden dan DPR sebelumnya. Langkah ini jauh lebih kontekstual dan menempatkan rakyat dalam posisi yang terhormat," jelas Ferdian.
Dia menyebut perubahan UU Cipta Kerja sebagai upaya menemukan kembali daulat rakyat di Parlemen. Pilihan itu kian relevan dengan kondisi objektif saat ini di mana draft UU Cipta Kerja masih dalam proses perapihan di Badan Legislasi DPR.
Secara teknis, katanya, upaya legislative review ini cukup mudah dan praktis sepanjang DPR dan Presiden menangkap kemauan rakyat atas substansi UU Cipta Kerja.
Dalam Pasal 23 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan DPR dan Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas disebabkan mengatasi keadaan konflik serta keadaan tertentu lainnya yang terkait dengan urgensi nasional.
Secara teknis, UU Cipta Kerja ini diundangkan terlebih dahulu, setelah itu langsung diajukan draft perubahannya ke DPR.
"Nah, perubahan UU Cipta Kerja ini harus melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan," pungkas Ferdian.(fat/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam