jpnn.com, JAKARTA - Rencana Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mencabut kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam memberikan Izin Edar Obat menuai protes sejumlah kalangan.
Pasalnya, kewenangan BPOM itu rencananya akan diberikan Menteri Terawan ke kementerian yang dipimpinnya.
BACA JUGA: Terobosan Menkes Terawan terkait Izin Edar Obat
Sejumlah organisasi yang menolak rencana itu adalah Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) dan Pusat Studi Nusantara (PUSTARA).
Ketua Umum Farmasis Indonesia Bersatu, Fidi Setyawan mengatakan, kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan UUD 1945.
BACA JUGA: Komisi IX DPR Mengingatkan Menkes Terawan soal Izin Edar Obat
Menurutnya, pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah.
"Termasuk dalam pembangunan kesehatan antara lain bidang Kefarmasian, yang menjamin sediaan farmasi, alat kesehatan yang aman, bermutu, dan bermanfaat, harus tersedia secara merata serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk makanan dan minuman yang aman, bermutu serta dengan pengawasan yang baik," kata Fidi sebagaimana dalam keterangan di Jakarta, Jumat (29/11).
Farmasis Indonesia Bersatu sebagai salah satu organisasi yang menjadi wadah komunikasi dan pergerakan Apoteker di Indonesia sebelumnya melakukan audiensi dengan Kepala Badan POM, Penny K. Lukito di kantor Badan POM. Dalam pertemuan tersebut, Farmasis Indonesia Bersatu menyatakan enam sikap.
Pertama, FIB mendesak Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto untuk membatalkan rencana menarik kewenangan mengeluarkan izin edar obat dan obat tradisional dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Kedua, mendorong Badan POM melakukan percepatan perizinan sehingga membuat iklim investasi kondusif," tegasnya.
Ketiga, mendorong Badan POM melakukan desentralisasi perizinan kepada Balai POM daerah untuk produk-produk UKM dan jamu tradisional sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara adil dan merata.
Keempat, mendorong Badan POM meningkatkan penerimaan pegawai berkualifikasi apoteker dengan tujuan untuk meningkatkan penyuluh produk farmasi kreatif di masyarakat sehingga bisa meningkatkan derajat ekonomi masyarakat.
Kelima, mendorong Badan POM meningkatkan komunikasi dengan organisasi-organisasi apoteker dalam hal penyusunan regulasi ke depannya.
"Keenam, mendorong Badan POM menjamin peredaran dan distribusi obat hanya dari sarana kefarmasian dan bersikap setara didalam penindakan di semua sarana terkait obat," tegasnya.
Sementara itu, Deputi Direktur Lembaga Kajian Pusat Studi Nusantara (PUSTARA), Agus Surono berpendapat, wacana Menkes Terawan yang akan mengeluarkan izin edar obat hanya dalam 1-2 hari adalah ide yang sangat fatal.
Pasalnya, memberikan izin edar obat bukan seperti memberikan SIM kepada orang yang sudah selesai mengikuti rangkaian tes mengemudi.
Menurut Agus, Izin Edar Obat dikeluarkan oleh otoritas obat dan makanan di manapun di dunia mengikuti standar prosedur yang prudent untuk memastikan setiap obat yang beredar dan dikonsumsi oleh manusia harus aman, bermutu dan berkhasiat (effective and efficacy).
"Hal ini sudah pasti akan menimbulkan kekuatiran atau ketakutan tidak saja bagi yang mengkonsumsi obat tersebut, melainkan juga oleh dokter yang akan meresepkan dan apoteker yang meracikan atau memberikan obat kepada pasien akan keamanan, mutu, efektifitas dan efikasi obat tersebut," kata Agus.
PUSTARA juga mengingatkan Komisi IX DPR RI untuk memanggil Menkes terkait rencana mengambil alih kewenangan Badan POM mengenai izin edar obat.
"Beberapa hari yang lalu, anggota Komisi IX DPR bersuara atas polemik tersebut. Karena itu, kami menagih janji DPR memanggil Menkes Terawan sebelum masa reses DPR pertengahan Desember ini," tukas Agus. (flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia