Pak Nahar Minta Pimpinan Ponpes Tersangka Kekerasan Seksual Dihukum Berat

Rabu, 24 Mei 2023 – 23:37 WIB
Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar. ANTARA/ HO-Kemen PPPA

jpnn.com, JAKARTA - Pimpinan pondok pesantren (ponpes) di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat yang menjadi tersangka kasus kekerasan seksual agar dihukum berat.

Tersangka LMI (43) dan HSN (50) telah melakukan kekerasan seksual terhadap 41 santri dalam rentang waktu hingga tahun 2023 dan tiga korban di antaranya telah membuat laporan polisi.

BACA JUGA: Diduga Ada Kekerasan Seksual Sebelum Anak Pj Gubernur Papua Pegunungan Tewas

"Berpedoman pada UU Nomor 17 Tahun 2016 dan UU Nomor 12 Tahun 2012, KemenPPPA mendorong aparat penegak hukum agar memproses kasus ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hak-hak korban dapat dipenuhi," kata Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Nahar saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.

Saat ini, keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polres Lombok Timur.

BACA JUGA: Berita Terbaru Kekerasan Seksual Pengasuh Ponpes terhadap Santriwati di Jember

Nahar menegaskan kasus dengan modus janji masuk surga melalui pengajian sek* ini merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, yang tidak dapat ditolerir dan patut dihukum berat.

Bahkan, pelaku dengan keji melakukan kekerasan seksual persetubuhan dengan korban yang berusia 16-17 tahun.

BACA JUGA: Pimpinan KKB Pembunuh Anggota TNI dan Polri Ditangkap

"Pelaku adalah pendidik di bidang keagamaan yang seharusnya melindungi anak dan menuntun anak pada perbuatan yang baik dan benar. Dalam kasus ini, pelaku justru melanggarnya dengan melakukan kekerasan seksual kepada anak didiknya," kata Nahar.

Nahar mengemukakan bila perbuatan tersangka memenuhi unsur Pasal 76D UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pelaku benar sebagai pengasuh atau pendidik anak, dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan, korbannya lebih dari satu orang, dan perbuatannya dilakukan berulang.

"Maka pelaku terancam sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Ayat (1), (2), (3), (5), (6), dan (7) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang," katanya.

Hukuman maksimal yang menanti tersangka dapat berupa pidana mati, seumur hidup, dan atau dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, serta diberikan tindakan kebiri, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

KemenPPPA juga berharap penegakan hukum kasus ini juga menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di mana hak-hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan juga dapat diberikan, termasuk hak untuk mendapatkan restitusi sebagai korban kekerasan seksual. (antara/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bangunan 22 Ruko di Pluit Melanggar Aturan Dibongkar Paksa


Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler