Produktivitas Prof Dr KRMT John Tondowidjojo Tondodiningrat dalam menulis buku tak lepas dari "gen menulis" keluarga nenek moyangnya, Adipati Jepara Sosroningrat. Cucu RA Kartini dari kakaknya, Sosrobusono, itu telah menulis hampir seratus judul buku.
-----------------------------------------------------------------------
KARDONO SETYORAKHMADI, Surabaya
---------------------------------------------------------------
SAAT beraksi di depan mesin ketik manual tuanya, Romo Tondo "panggilan KRMT John Tondowidjojo" mirip novelis legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Tua tapi gesit. Bersemangat ketika menjelaskan sesuatu. Posturnya juga mirip Pram: tinggi, kurus, berkacamata besar.
Soal produktivitas menulis, Romo Tondo bisa membuat siapa pun yang merasa dirinya penulis akan malu. Sebab, pada usianya yang memasuki 79 tahun, Romo Tondo punya tekad untuk bisa menggenapi penerbitan bukunya menjadi 100 judul.
"Sekarang masih 95 judul. Mudah-mudahan akhir tahun ini bisa terbit lima buku baru lagi," kata Romo Tondo ketika ditemui di ruang kerjanya di Paroki Kristus Radja, Tambaksari, Surabaya, kemarin (22/4).
Lima buku yang dalam proses penyelesaian tersebut bukan buku kacangan asal jadi, tapi termasuk buku yang membuat kening berkerut saat membacanya. Yakni, lima buku tentang ethnology (ilmu tentang etnik-etnik bangsa). Hebatnya lagi, buku itu ditulis dalam bahasa Inggris.
Romo Tondo juga membuktikan bahwa usia tua tidak mesti diiringi turunnya semangat untuk menulis. Dia bisa menulis dengan sangat cepat. Misalnya, yang ditunjukkan dalam sesi pemotretan kemarin. Ketika Jawa Pos meminta untuk mengetik di mesin ketik tuanya, dalam waktu tak lebih dari lima menit, dia bisa menulis lima paragraf tulisan yang bermakna. Tidak asal nulis.
"Sudah terbiasa. Setiap hari tidak pernah lepas dari mesin ketik ini," ujar pastor di Paroki Kristus Radja itu.
Sebenarnya, di tengah kesibukannya menulis buku, jadwal harian Romo Tondo cukup padat. Bangun pukul empat pagi, dia memulai aktivitas pukul setengah lima. "Sebab, saya harus berdoa dulu selama setengah jam," ungkapnya.
Ad2.ok/224
sambungan 1-boks-a
Saat sebagian orang masih meringkuk di tempat tidur, direktur Yayasan Sanggar Bina Tama itu sudah masuk ruang kantornya. Tujuannya, kalau tidak menulis "meneruskan penyelesaian bukunya", dia menyiapkan bahan kuliah. Ya, selain menjadi pastor, Romo Tondo juga menjadi guru besar ilmu komunikasi sosial di FISIP Ubhara Surabaya.
"Tapi, saya lebih banyak menulis pada pagi itu. Enak sekali menulis pada jam-jam seperti itu. Tenang, inspirasi mengalir deras," terangnya.
Pukul 07.00, dia baru beraktivitas ke luar kantor. Entah memberi kuliah, memberi pelayanan kepada jemaat, atau menghadiri undangan seminar. "Saya kerap mendapat undangan seminar atau menjadi pembicara," akunya.
Siangnya, kalau sempat pulang, biasanya Romo Tondo memanfaatkan waktu tersebut untuk beristirahat satu"dua jam. Setelah itu, dia beraktivitas lagi. Pulang ke rumah sekitar pukul 21.00. Dia melanjutkan keasyikannya di depan mesin ketik. "Paling cepat pukul 23.00 saya baru bisa tidur," tuturnya.
Romo Tondo mengakui bahwa "gen menulis" itu didapatnya dari keluarga nenek moyangnya, termasuk Raden Ajeng Kartini, pahlawan emansipasi perempuan yang merupakan adik kakeknya.
"Saya akui, keluarga saya termasuk keluarga ningrat. Biasanya, keluarga semacam itu feodal. Itu juga yang terjadi pada keluarga saya," terangnya.
Karena itu, tak heran, saat masih berada di keluarga kakeknya, Adipati Ngawi Sosrobusono, Tondo menjadi orang yang patuh pada aturan keningratan. Misalnya, dia tidak diperbolehkan membantah omongan orang yang lebih tua dan tata kehidupan feodal lainnya. Selain itu, tidak ada diskusi terbuka. "Saya lahir di gedung kadipaten," ujar dia.
Hal itu berbeda dengan klan Adipati Jepara Sosroningrat yang mempunyai anak-anak revolusioner. "Saya lebih suka menyebutnya broad minded (berwawasan luas, Red)," terangnya.
Di antara anak-anak Sosroningrat itu, ada Sosrokartono dan trio adik perempuannya: Kartini, Rukmini, dan Kardinah. Tapi, yang paling dikagumi Tondo adalah sosok Kartono, panggilan Sosrokartono, dan Kartini.
"Kartono. Harus diakui dia genius. Dia wartawan Indonesia pertama yang meliput Perang Dunia I di Eropa. Namanya sangat terkenal di Eropa dan menguasai 26 bahasa," cerita Romo Tondo.
Sedangkan Kartini, menurut Romo Tondo, merupakan sosok inspiratif. Tokoh yang dianggap sebagai ikon perjuangan perempuan Indonesia itu memang menyimpan banyak kontradiksi. Salah satunya, dia merupakan perempuan penentang poligami, tapi justru menjadi "korban" poligami. Ketika menikahi Kartini, Bupati Rembang Adipati Djojoadiningrat adalah lelaki dengan tiga selir dan tujuh anak.
Meski begitu, pemikiran-pemikiran Kartini dan gerakan yang diperjuangkannya (dengan mendirikan sekolah dan membuka akses pendidikan bagi perempuan Indonesia) sangat fenomenal. Korespondensinya dengan Estelle Zeehelandeer, feminis Belanda, selama empat tahun menunjukkan kegigihan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi. Sejumlah pemikiran kontroversial ditulis dalam suratnya kepada sahabat penanya tersebut.
Sebagian bahkan menembus ruang dan waktu. Misalnya pemikirannya bahwa agama menjaga kita dari perbuatan dosa, tapi berapa banyak dosa yang manusia perbuat atas nama agama" Pada akhir abad ke-19, Kartini sudah berbicara tentang fundamentalisme dan radikalisme agama.
Kartono dan Kartini itulah, kata Romo Tondo, yang ikut membentuk pribadinya. "Saya menjadi jurnalis pada 1965 dan berstatus ambasador (perwakilan) bagi media-media Swiss," tutur dia.
Pada tahun itulah Romo Tondo mulai membuat bukunya yang pertama. Hingga kini, 48 tahun kemudian, sudah 95 buku dia terbitkan. Belum terhitung artikelnya yang jumlahnya hampir seribu.
Romo Tondo juga mengakui bahwa tulisannya banyak dipengaruhi pemikiran Kartini. Sebab, dalam tulisan-tulisannya, Kartini selalu memperhatikan situasi masyarakat dan kehidupan manusia. Misalnya, dia bisa tahu buruknya pengaruh candu atau kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang membuat petani makin sengsara.
Selain itu, Romo Tondo bersyukur karena keluarga besarnya sangat peduli pada pendidikan. Maka, setelah lulus sekolah seminari, dia mengambil sarjana muda di Sekolah Tinggi Filsafat Surabaya (kini sudah tidak ada). Begitu pula ketika Romo Tondo memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Eropa, keluarganya terus mendorong.
Buntutnya, pendidikan yang ditempuh Romo Tondo berjalan mulus. Dia sukses meraih gelar S-2 dalam dua bidang sekaligus. Yakni, teologi dan musik. "Saya bersekolah musik di Venezia, Italia," tuturnya.
Dia mendapatkan gelar guru besar di bidang ethnologia di Perguruan Tinggi Kepausan di Urbaniana pada 1999. Setelah itu, dia pergi ke Inggris untuk memperdalam bidang komunikasi lewat art and media communication. "Saya percaya bahwa akar permasalahan problem sosial adalah komunikasi," tegasnya.
Hingga lanjut usia, Romo Tondo terus berkarya dan dikenal luas, semata-mata bukan karena dia cucu Kartini. Dia eksis karena perjuangannya yang gigih. "Saya baru akan pensiun setelah tidak bisa apa-apa lagi," tandasnya, lantas tertawa. (*/ari)
-----------------------------------------------------------------------
KARDONO SETYORAKHMADI, Surabaya
---------------------------------------------------------------
SAAT beraksi di depan mesin ketik manual tuanya, Romo Tondo "panggilan KRMT John Tondowidjojo" mirip novelis legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Tua tapi gesit. Bersemangat ketika menjelaskan sesuatu. Posturnya juga mirip Pram: tinggi, kurus, berkacamata besar.
Soal produktivitas menulis, Romo Tondo bisa membuat siapa pun yang merasa dirinya penulis akan malu. Sebab, pada usianya yang memasuki 79 tahun, Romo Tondo punya tekad untuk bisa menggenapi penerbitan bukunya menjadi 100 judul.
"Sekarang masih 95 judul. Mudah-mudahan akhir tahun ini bisa terbit lima buku baru lagi," kata Romo Tondo ketika ditemui di ruang kerjanya di Paroki Kristus Radja, Tambaksari, Surabaya, kemarin (22/4).
Lima buku yang dalam proses penyelesaian tersebut bukan buku kacangan asal jadi, tapi termasuk buku yang membuat kening berkerut saat membacanya. Yakni, lima buku tentang ethnology (ilmu tentang etnik-etnik bangsa). Hebatnya lagi, buku itu ditulis dalam bahasa Inggris.
Romo Tondo juga membuktikan bahwa usia tua tidak mesti diiringi turunnya semangat untuk menulis. Dia bisa menulis dengan sangat cepat. Misalnya, yang ditunjukkan dalam sesi pemotretan kemarin. Ketika Jawa Pos meminta untuk mengetik di mesin ketik tuanya, dalam waktu tak lebih dari lima menit, dia bisa menulis lima paragraf tulisan yang bermakna. Tidak asal nulis.
"Sudah terbiasa. Setiap hari tidak pernah lepas dari mesin ketik ini," ujar pastor di Paroki Kristus Radja itu.
Sebenarnya, di tengah kesibukannya menulis buku, jadwal harian Romo Tondo cukup padat. Bangun pukul empat pagi, dia memulai aktivitas pukul setengah lima. "Sebab, saya harus berdoa dulu selama setengah jam," ungkapnya.
Ad2.ok/224
sambungan 1-boks-a
Saat sebagian orang masih meringkuk di tempat tidur, direktur Yayasan Sanggar Bina Tama itu sudah masuk ruang kantornya. Tujuannya, kalau tidak menulis "meneruskan penyelesaian bukunya", dia menyiapkan bahan kuliah. Ya, selain menjadi pastor, Romo Tondo juga menjadi guru besar ilmu komunikasi sosial di FISIP Ubhara Surabaya.
"Tapi, saya lebih banyak menulis pada pagi itu. Enak sekali menulis pada jam-jam seperti itu. Tenang, inspirasi mengalir deras," terangnya.
Pukul 07.00, dia baru beraktivitas ke luar kantor. Entah memberi kuliah, memberi pelayanan kepada jemaat, atau menghadiri undangan seminar. "Saya kerap mendapat undangan seminar atau menjadi pembicara," akunya.
Siangnya, kalau sempat pulang, biasanya Romo Tondo memanfaatkan waktu tersebut untuk beristirahat satu"dua jam. Setelah itu, dia beraktivitas lagi. Pulang ke rumah sekitar pukul 21.00. Dia melanjutkan keasyikannya di depan mesin ketik. "Paling cepat pukul 23.00 saya baru bisa tidur," tuturnya.
Romo Tondo mengakui bahwa "gen menulis" itu didapatnya dari keluarga nenek moyangnya, termasuk Raden Ajeng Kartini, pahlawan emansipasi perempuan yang merupakan adik kakeknya.
"Saya akui, keluarga saya termasuk keluarga ningrat. Biasanya, keluarga semacam itu feodal. Itu juga yang terjadi pada keluarga saya," terangnya.
Karena itu, tak heran, saat masih berada di keluarga kakeknya, Adipati Ngawi Sosrobusono, Tondo menjadi orang yang patuh pada aturan keningratan. Misalnya, dia tidak diperbolehkan membantah omongan orang yang lebih tua dan tata kehidupan feodal lainnya. Selain itu, tidak ada diskusi terbuka. "Saya lahir di gedung kadipaten," ujar dia.
Hal itu berbeda dengan klan Adipati Jepara Sosroningrat yang mempunyai anak-anak revolusioner. "Saya lebih suka menyebutnya broad minded (berwawasan luas, Red)," terangnya.
Di antara anak-anak Sosroningrat itu, ada Sosrokartono dan trio adik perempuannya: Kartini, Rukmini, dan Kardinah. Tapi, yang paling dikagumi Tondo adalah sosok Kartono, panggilan Sosrokartono, dan Kartini.
"Kartono. Harus diakui dia genius. Dia wartawan Indonesia pertama yang meliput Perang Dunia I di Eropa. Namanya sangat terkenal di Eropa dan menguasai 26 bahasa," cerita Romo Tondo.
Sedangkan Kartini, menurut Romo Tondo, merupakan sosok inspiratif. Tokoh yang dianggap sebagai ikon perjuangan perempuan Indonesia itu memang menyimpan banyak kontradiksi. Salah satunya, dia merupakan perempuan penentang poligami, tapi justru menjadi "korban" poligami. Ketika menikahi Kartini, Bupati Rembang Adipati Djojoadiningrat adalah lelaki dengan tiga selir dan tujuh anak.
Meski begitu, pemikiran-pemikiran Kartini dan gerakan yang diperjuangkannya (dengan mendirikan sekolah dan membuka akses pendidikan bagi perempuan Indonesia) sangat fenomenal. Korespondensinya dengan Estelle Zeehelandeer, feminis Belanda, selama empat tahun menunjukkan kegigihan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi. Sejumlah pemikiran kontroversial ditulis dalam suratnya kepada sahabat penanya tersebut.
Sebagian bahkan menembus ruang dan waktu. Misalnya pemikirannya bahwa agama menjaga kita dari perbuatan dosa, tapi berapa banyak dosa yang manusia perbuat atas nama agama" Pada akhir abad ke-19, Kartini sudah berbicara tentang fundamentalisme dan radikalisme agama.
Kartono dan Kartini itulah, kata Romo Tondo, yang ikut membentuk pribadinya. "Saya menjadi jurnalis pada 1965 dan berstatus ambasador (perwakilan) bagi media-media Swiss," tutur dia.
Pada tahun itulah Romo Tondo mulai membuat bukunya yang pertama. Hingga kini, 48 tahun kemudian, sudah 95 buku dia terbitkan. Belum terhitung artikelnya yang jumlahnya hampir seribu.
Romo Tondo juga mengakui bahwa tulisannya banyak dipengaruhi pemikiran Kartini. Sebab, dalam tulisan-tulisannya, Kartini selalu memperhatikan situasi masyarakat dan kehidupan manusia. Misalnya, dia bisa tahu buruknya pengaruh candu atau kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang membuat petani makin sengsara.
Selain itu, Romo Tondo bersyukur karena keluarga besarnya sangat peduli pada pendidikan. Maka, setelah lulus sekolah seminari, dia mengambil sarjana muda di Sekolah Tinggi Filsafat Surabaya (kini sudah tidak ada). Begitu pula ketika Romo Tondo memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Eropa, keluarganya terus mendorong.
Buntutnya, pendidikan yang ditempuh Romo Tondo berjalan mulus. Dia sukses meraih gelar S-2 dalam dua bidang sekaligus. Yakni, teologi dan musik. "Saya bersekolah musik di Venezia, Italia," tuturnya.
Dia mendapatkan gelar guru besar di bidang ethnologia di Perguruan Tinggi Kepausan di Urbaniana pada 1999. Setelah itu, dia pergi ke Inggris untuk memperdalam bidang komunikasi lewat art and media communication. "Saya percaya bahwa akar permasalahan problem sosial adalah komunikasi," tegasnya.
Hingga lanjut usia, Romo Tondo terus berkarya dan dikenal luas, semata-mata bukan karena dia cucu Kartini. Dia eksis karena perjuangannya yang gigih. "Saya baru akan pensiun setelah tidak bisa apa-apa lagi," tandasnya, lantas tertawa. (*/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sekolah Tak Ada Biaya, Makan pun Seadanya
Redaktur : Tim Redaksi