Pakar: Bahaya BPA Merupakan Ancaman Kesehatan, Bukan Isu Persaingan Usaha

Senin, 04 November 2024 – 17:12 WIB
Isu Bebas BPA di kemasan galon isi ulang Beredar di Medsos. Foto: JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Bahaya paparan Bisphenol A (BPA) terhadap kesehatan makin menjadi perhatian serius di Indonesia. Para pakar kesehatan menegaskan bahwa dampak BPA bukanlah isu persaingan bisnis, melainkan masalah kesehatan yang mendesak.

Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr. Ulul Albab, SpOG, dalam talkshow kesehatan di Jakarta, menyoroti pentingnya mengutamakan kesehatan masyarakat di atas kepentingan komersial.

BACA JUGA: Pakar Sebut Migrasi BPA dari Galon ke Air Sulit Terjadi

“Kita tidak boleh mengabaikan risiko BPA hanya karena ingin menghindari perdebatan soal persaingan usaha. Fokus kita, baik dari sisi IDI maupun BPOM, adalah melindungi masyarakat dari dampak buruk paparan BPA," ujar dr. Ulul.

Dia menegaskan bahwa kepedulian IDI sejalan dengan langkah BPOM dalam mengatur pelabelan produk dengan kandungan BPA, sebagai upaya preventif yang penting bagi masyarakat.

BACA JUGA: Dokter Spesialis Kandungan Ungkap Penyebab Ketidaksuburan, Bukan BPA

Paparan BPA dalam jangka panjang diketahui bisa mengganggu keseimbangan hormon dan bahkan memicu masalah kesehatan serius, seperti ketidaksuburan dan gangguan perkembangan janin.

Dr. Ulul membandingkan situasi ini dengan bagaimana isu COVID-19 dahulu juga diputarbalikkan oleh sebagian pihak, menciptakan kebingungan di tengah masyarakat.

BACA JUGA: Belum Ada Bukti Ilmiah BPA Pada Air Galon Kemasan Polikarbonat Pengaruhi Metabolisme Tubuh

“Kita harus fokus pada kesehatan masyarakat, bukan pada narasi yang mengaburkan fakta,” tegasnya.

Regulasi terbaru BPOM yang mengharuskan pelabelan peringatan pada produk dengan kandungan BPA dianggap sebagai langkah positif.

“Peraturan ini adalah bentuk perlindungan bagi konsumen agar bisa membuat pilihan yang lebih aman," kata dr. Ulul.

Meski belum sampai pada pelarangan total, ia berharap masyarakat menjadi lebih waspada dalam memilih produk, khususnya kemasan plastik yang berpotensi melepaskan BPA.

Di acara yang sama, pakar polimer dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Mochamad Chalid, SSi, MSc.Eng, menjelaskan bahwa proses peluruhan BPA pada kemasan polikarbonat sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti panas dan paparan sinar matahari.

“Dalam distribusi dan penyimpanan yang tidak tepat, ada kemungkinan BPA ini bisa berpindah ke dalam air minum,” jelas Prof. Chalid.

Data BPOM dari 2021 hingga 2022 menunjukkan bahwa kadar BPA pada air minum dalam kemasan polikarbonat terus meningkat, khususnya pada produk dengan paparan suhu tinggi dan pencucian berulang.

Hasil pemeriksaan BPOM menunjukkan bahwa migrasi BPA pada beberapa sampel bahkan melebihi ambang batas yang telah ditetapkan, menunjukkan adanya potensi risiko lebih lanjut.

Dengan adanya regulasi ini, para pakar berharap masyarakat mendapatkan edukasi yang cukup mengenai bahaya BPA dan lebih selektif dalam memilih kemasan produk sehari-hari.

"Fokus kami adalah memberikan informasi yang akurat dan transparan. Masyarakat berhak mengetahui risiko BPA agar dapat membuat keputusan yang bijak demi kesehatan mereka,” pungkas dr. Ulul.


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
BPA   IDI   Persaingan Usaha   BPOM   bahaya BPA  

Terpopuler