jpnn.com, JAKARTA - Pengamat energi UGM Fahmi Radhi mengatakan ada tiga masalah yang menjadi penghambat pengembangan panas bumi di Indonesia.
Padahal, potensi cadangan panas bumi di Indonesia merupakan yang terbesar ketiga di Indonesia.
BACA JUGA: Gandeng Chevron, Pertamina Geothermal Energy Garap Energi Panas Bumi di WKP Way Ratai
"Tetapi, memang belum optimal dimanfaatkan, saya mengamati ada beberapa hambatan," ujar Fahmi Radhi, Senin (23/10).
Pertama, kata Fahmi, adalah perizinan. Sebab, meski pemerintah telah menetapkan perizinan satu pintu, tetapi fakta lapangan memperlihatkan masih ada berbagai kendala.
BACA JUGA: Komisi VI DPR Dukung Langkah PGEO Garap Proyek Energi Panas Bumi
"Terutama terkait dengan pembebasan lahan, padahal kebanyakan proyek PLTP adalah proyek strategis nasional (PSN) yg diatur pembebasan lahannya lewat UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum," katanya.
Kemudian, yang kedua, hambatan dari segi infrastruktur.
BACA JUGA: Chevron & PGE Sepakat Joint Study Agreement, Panas Bumi di Sumsel Bakal Digarap
Fahmi menguraikan bahwa biasanya panas bumi berada di daerah pegunungan, hutan, dan area terpencil. Namun, tidak ada akses yang baik untuk menuju ke wilayah tersebut.
"Beberapa investor membangun sendiri operasionalnya. Jadi, besar di sana sehingga kurang nilai keekonomiannya," ucap Fahmi.
Fahmi melanjutkan yang ketiga adalah risiko eksplorasi panas bumi cukup tinggi.
"Risiko tidak memperolehnya ada, meski pun secara geologis ada sumber dayanya tetapi ternyata setelah dilakukan eksplorasi tidak seperti yang diperhuitungkan dan itu menyebabkan belum dimanfaatkan secara optimal," bebernya.
Oleh karena itu, setidaknya dukungan pemerintah dibutuhkan untuk mengurai masalah tersebut.
"Karena jenis usahanya termasuk berisiko tinggi, maka Pemerintah sangat disarankan untuk memberikan insentif seperti tax holiday dan lainnya," ucap Fahmi.
Fahmi menyebut tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi di fase awal proyek terkadang membuat calon investor berfikir ulang.
Sebab, kebanyakan dari proyek yang dilelang sebagai WKP hanya didasarkan pada data Pemerintah yg memiliki keterbatasan sumber daya dan teknologi, sehingga seringkali harus disurvei ulang oleh calon developer.
"Jadi, di depan sudah keluar biaya banyak, sementara potensi belum kelihatan secara pasti, sehingga membutuhkan risk analysis yang sangat robust serta skema pembiayaan atau bankability yang bisa menjamin kelangsungan proyek," ucap Fahmi.
Di sisi lain regulasi yang seringkali berubah, sehingga calon pengembang kesulitan untuk menghitung keekonomian proyek, karena terkadang harga tarif listrik yg telah disepakati di saat menang tender, ternyata masih bisa diminta dikurangi lagi.
"Sehingga, penghitungan keekonomian yang telah dipersiapkan di awal menjadi berantakan dan tidak bisa dilanjutkan dengan margin yang cukup menarik untuk mendorong calon developer "berani" menggelontorkan dana investasi," ujarnya.
Hal itu akan mendorong calon investor untuk hengkang dari Indonesia, karena tiadanya jaminan pembelian listrik dari PLN setelah investor menanamkan modal puluhan hingga ratusan juta dolar.
"Oleh karena itu, bisa dipahami sejumlah pengembang asing akhirnya memilih mundur dari proyek panas bumi di Indonesia, seperti yang kita lihat dari perusahaan Italia, Enel Green Power, yang memilih angkat kaki dari lapangan Way Ratai, Lampung, belum lama ini," contohnya lebih lanjut.
Pemerintah pun diminta memperbaiki iklim usaha panas bumi di tanah air, mengingat target capaian net zero emission Indonesia pada 2060 atau lebih cepat.
Pemerintah bisa secara bertahap menggantikan energi batu bara pada pembangkit listrik PLN dengan energi ramah lingkungan dari panas bumi.
"Ini energi bersih tak mengotori lingkungan. Bisa mendukung pencapaian zero carbon dan bauran energi terbarukan 31 persen pada 2050," ucap Fahmi.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul