jpnn.com, JAKARTA - Wacana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait labelisasi BPA pada air minum dalam kemasan (AMDK) dinilai hanya menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Pakar Polimer Institut Teknologi Bandung (ITB) Akhmad Zainal Abidin mengatakan labelisasi AMDK galon guna ulang tidak perlu dilakukan.
BACA JUGA: Wacana BPOM Labelisasi BPA Bikin Gaduh di Masyarakat, Ini Alasannya
Sebab, peraturan BPOM nomor 20 tahun 2019 sudah cukup jelas dan lebih accepted karena produk yang diedarkan sudah disertifikasi oleh BPOM.
"Aturan tersebut mengatur tentang pengendalian risiko dari senyawa kimia yang digunakan pada kemasan dan semua zat kimia itu pasti berbahaya tidak hanya BPA," ujar Akhmad dalam diskusi Polemik Spesial MNC Trijaya FM dengan judul "Urgensi Pelabelan BPA Galon Guna Ulang", Kamis (10/11).
BACA JUGA: Asdamindo Sebut Pelabelan BPA Galon Guna Ulang Sangat Merugikan Pengusaha AMDK
Menurut Akhmad, migrasi BPA dari galon guna ulang ke produk air di dalamnya itu masih seperseratus dari kadar maksimum yang diizinkan.
"Termasuk sampel galon yang terjemur sinar matahari meskipun ditemukan adanya kandungan migrasi yang lebih tinggi daripada tidak terkena matahari. Namun, kadarnya masih jauh di bawah batas maksimum yang diizinkan,” kata Akhmad.
BACA JUGA: Luhur Minta Kebijakan Pelabelan BPA Tidak Untungkan Pengusaha Tertentu
Dari sisi ilmiah, kata Zainal, semua zat kimia itu pasti berbahaya, tidak hanya BPA tetapi zat-zat prekursor yang digunakan untuk membuat botol atau galon plastik PET (polyethylene terephthalate) atau sekali pakai.
“Etilen glikol yang menjadi salah satu prekursor yang digunakan untuk membuat botol, galon plastik PET, dan sekali pakai. Iti sangat beracun dan bisa menyerang sistem saraf pusat, jantung dan ginjal serta dapat bersifat fatal jika tidak segera ditangani,” ungkapnya.
Di sisi lain, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menyampaikan dari sudut kesehatan masyarakat bahwa isu kesehatan masyarakat harus melihat evidence base-nya.
Hermawan mengungkapkan dari kasus konsumsi, sejauh ini belum ditemukan fenomena yang berdampak luas di masyarakat.
"Apabila ada isu zat ini berbahaya khususnya di pangan maka kendalinya ada di produksi dan distribusi bukan labelnya. Ini tidak bisa coba-coba," tegas Hermawan.
Selain itu, pelabelan tersebut menjadi tidak efektif karena unsur pelabelan masuk ke dalam kendali perilaku bukan pada substansi yang seharusnya sudah dikendalikan pada saat produksi.(mcr28/jpnn)
Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Wenti Ayu Apsari