jpnn.com, JAKARTA - Pakar tindak pidana pencucian uang (TPPU) Pahrur Dalimunthe menilai langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) mendorong penguatan Direktorat Pemulihan Aset di dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sangat tepat.
Seperti diketahui, kejaksaan berencana meningkatkan statusnya menjadi badan tersendiri agar lebih optimal dalam menjalankan tugasnya.
BACA JUGA: Apresiasi LDII Terapkan Nilai-Nilai Kebangsaan, Kejagung: Negara Membebaskan Rakyatnya Beribadah
Pahrur bahkan optimistis Badan Perampasan tersebut menjadi sektor basis (leading sector). Dirinya lalu mencontohkan dengan kinerja institusi serupa di luar negeri yang telah memiliki UU Perampasan Aset.
"Ya, pasti leading sector dan itu kadang di negara lain mempermudah dan mempercepat proses eksekusi aset hasil tindak pidana, khususnya korupsi dan pencucian uang," katanya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (12/4).
BACA JUGA: Transaksi Mencurigakan Rp 349 T, ART Minta Polri hingga Kejagung Proaktif
Pahrur mengatakan negara lain dengan badan perampasan aset sendiri, kasus bisa langsung lelang, dananya nanti akan dikelola dan dikembalikan kepada negara.
"Kalau nanti, misalnya, pelaku bebas, (aset) dikembalikan dalam bentuk uang. Itu bisa (diterapkan) kalau badan sendiri dengan ketentuan sendiri," sambungnya.
Di Indonesia, ungkap Pahrur, aset yang telah disita pada tahap penyidikan tidak bisa langsung dilelang kecuali perkaranya telah berkekuatan hukum tetap. "Padahal, kalau mobil, harganya sekarang dan 2 tahun lagi pasti nilainya menurun."
Lebih lanjut, untuk memperkuat badan itu, setidaknya, kata Pahrur, harus penambahan dua tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dan kewenangan. Pertama, bisa melelang aset rampasan lebih dini.
"Sekarang, kan, di Indonesia hanya bisa dilelang kalau barang cepat rusak. Kalau di negara lain, apa pun bisa dilelang sebanding dengan harga normal dan wajar," katanya.
Kedua, memiliki kemampuan melacak. Pahrur berpendapat, peran ini dapat optimal dengan pelibatan institusi terkait. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan penyelenggaran sektor keuangan, contohnya.
"Nanti dalam tingkat lanjut, banding atau kasasi, bisa dimintakan untuk menambah aset yang dirampas. Kalau dengan sekarang, jaksa biasanya hanya kasus yang ada saja yang ditindaklanjuti," ungkapnya.
"Dengan badan tersendiri, yang mana mereka dikasih target dengan asset recovery, mereka di setiap kasus akan mencari tahu aset-aset apa saja yang dimiliki para pelaku tindak pidana," imbuh Managing Partner Firma Hukum Dalimunthe & Tampubolon (DNT) Lawyers ini.
Namun, Pahrur mengingatkan hal tersebut takkan terwujud apabila RUU Perampasan Aset tidak disahkan. Di sisi lain, dirinya mendorong penerapan aturan peningkatan kekayaan secara tidak sah (ellicit enrichment).
"Kalau undang-undang belum disahkan, walaupun mau lembaga ganti nama, sebenarnya enggak berpengaruh. Jadi, sebenarnya yang penting sekarang undang-undangnya disahkan," tegasnya.
"Kalau RUU Perampasan Aset itu ada, saya mau Indonesia memasukkan aturan tentang ellicit enrichment. Sebenarnya di negara lain sudah diatur, tapi di Indonesia belum. Jadi, kalau sebenarnya mau merampas aset pejabat yang kekayaannya naik tiba-tiba, terus hukum yang bisa menjerat adalah ellicit enrichment itu," tambah Pahrur.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul