Pakar HTN Sebut Investor Asing Khawatir Demokrasi Indonesia Terancam, Begini Alasannya

Senin, 22 Januari 2024 – 10:15 WIB
Akademisi sekaligus Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti. Foto: ANTARA News/Fathur Rochman

jpnn.com, JAKARTA - Proses demokrasi dalam Pilpres 2024 masih menyisakan kekhawatiran yang mendalam bagi sejumlah kalangan, terutama bagi aktivis demokrasi dan akademisi.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 terkait syarat batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang memuluskan jalan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon wakil presiden 2024 dinilai telah mencederai nilai demokrasi serta jauh dari semangat reformasi.

BACA JUGA: Survei Charta Politika: Mayoritas Tolak Politik Dinasti, tetapi Tak Mencemaskannya

Akademisi sekaligus Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan proses demokrasi yang terjadi di Indonesia beberapa bulan terakhir menjadi sorotan media asing.

Pasalnya, adanya upaya membangun dinasti politik Jokowi melalui proses gugatan tentang batas usia pencalonan presiden dan calon wakil presiden di MK.

BACA JUGA: Jangan Pilih Prabowo, Mahasiswa UNJ Demo Tolak Politik Dinasti

Menurut dia, beberapa media asing menyebut majunya Gibran sebagai cawapres yang dilalui dengan mengubah konstitusi di MK termasuk nepotisme politik.

Hal ini disampaikan Bivitri saat menjadi narasumber di diskusi daring yang digelar Forum Intelektual Muda yang bertajuk "Menyikapi Media Asing yang Soroti Dinasti Politik di Pilpres 2024: Jokowi di Ujung Tanduk?" pada Jumat (19/1/2024) malam.

BACA JUGA: Perludem Merespons Soal Dinasti Politik di Pilpres 2024, Simak

Dalam kesempatan itu, Bivitri menegaskan nepotisme sangat berbahaya untuk nasib bangsa Indonesia ke depan karena mengancam demokrasi. Nepotisme merupakan akar dari korupsi sehingga harus dihentikan.

“Nepotisme itu akar korupsi dan tentu saja investor asing, pemerintah asing yang selama ini memberikan bantuan ke Indonesia mulai ngukur, bahkan ragu untuk berinvestasi di Indonesia,” katanya.

Dia bercerita dirinya termasuk orang yang melaporkan Anwar Usman untuk diproses secara etik. Sayangnya, Anwar Usman hanya diberhentikan dari jabatannya, sementara status kehakimannya masih.

Bivitri juga menyebut bahwa dalam proses itu, pihaknya merasa kesulitan sebab sistem hukum di Indonesia telah disandera oleh aktor politik yang memainkan konstitusi.

“Kami kesulitan karena sistem hukumnya sudah di kooptasi,” tuturnya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan apa yang terjadi saat ini berpotensi membuat demokrasi di Indonesia cacat.

Dia melihat potensi kecurangan dalam konteks Pemilu 2024 sudah disorot sejak proses pendaftaran partai politik.

“Teman-teman pasti tahu beritanya, bahwa partai ini seharusnya tidak lolos, tapi kemudian oleh KPU diloloskan, ada kan rekaman juga,” ucap dia.

Setelah masalah parpol, muncul lagi persoalan Peraturan KPU yang tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi seperti keterwakilan perempuan. Perludem sempat melaporkan hal ini ke Bawaslu dan DKPP dan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Namun, tidak ada hasil yang memuaskan.

“Jadi, permohonan kami dikabulkan terdapat pelanggaran administrasi pemilu, tapi menguap saja tidak ditindaklanjuti,” pungkasnya.

Turut hadir juga sebagai narasumber, Direktur Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti dan pengamat politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler