jpnn.com - JAKARTA – Beberapa pakar hukum berharap hakim praperadilan bersikap adil saat memutuskan kasus RJ Lino. Yakni, dugaan korupsi pengadaan QCC pada tiga pelabuhan milik Pelindo II.
Pasalnya, sosok-sosok hebat bisa saja takut menjabat sebagai CEO BUMN. Beberapa pakar hukum itu antara lain mantan Komisioner Komisi Yudisial Ibrahìm, Sekretaris Dirjen Adminintrasi Hukum Umum Kemenkumham Freddy Harris, pakar pengadaan Ade Maman Suherman dan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Teddy Anggoro.
BACA JUGA: Tak Sesuai UU, Polri Diminta Menunda Penggolongan SIM C
Freddy berkaca pada kasus yang menimpa Pelindo II tentang adanya kerugian negara dalam pengadaan QCC tahun 2010. Menurutnya, ketika negara memberikan kuasanya kepada korporasi, maka semuanya harus clear.
"Artinya sebuah korporasi itu harus berjalan sebagai sebuah korporasi tidak ada intervensi karena menjadi tidak profesional. Jadi berdasarkan sistem hukum di manapun BUMN di negara manapun sama. Sehingga di Indonesia BUMN jangan kemudian ditafsirkan dengan cara yang lain-lain yang akibatnya terjadi penafsiran terlalu luas tanpa dasar hukum yang jelas," ujar Freddy, Rabu (13/1).
BACA JUGA: Pertanda Apa? Megawati Ada di Pelantikan Dubes di Istana
Freddy menambahkan, persoalan BUMN ialah tentang korporasi yang dilihat dalam untung rugi di akhir tahun. Artinya, bukan satu transaksi lalu bisa dibilang sebagai kerugian negara. Hal ini yang mesti diluruskan.
"Kalau tidak diluruskan, siapa yang mau memimpin BUMN. Ya paling orang-orang yang tidak punya konsep mengembangkan BUMN. Menjalankan BUMN secara bussines as ussual. Sementara orang yang baik, tidak minat bahkan takut. Kenapa? Karena semua orang terbaik jadi takut. Lebih baik di swasta. Mudah-mudahan hakim bisa memutuskan secara adil," tambah Freddy.
BACA JUGA: Hhmmm.. Istana Ikut Resah dengan Meluasnya Gafatar
Sementara itu, Ibrahim menambahkan, diskresi diperlukan ketika ada suatu keadaan yang dibutuhkan oleh pemegang kekuasaan tertentu, tetapi hukum tidak memberikan jalan keluar. "Sepanjang diskresi itu proporsional dan tidak ada kepentingan pribadi di dalamnya,” kata Ibrahim.
Teddy mengatakan, KPK harus melihat ada atau tidaknya niat melakukan kejahatan. “Gampang saja melihatnya. Apakah dalam perencanaan anggaran di tahun 2010 untuk 3 QCC tersebut, harganya lebih mahal dari tahun 2009 atau tidak? Jika lebih murah, maka tidak ada sama sekali niatan Lino untuk melakukan korupsi. Kemudian bisa juga dilihat dari performance IPC selama Lino menjabat, kalau memang dia ingin melakukan korupsi, sudah pasti performance IPC akan buruk. Tapi ini kan tidak,” kata Teddy.
Di sisi lain, Ade Maman Suherman, pakar hukum pengadaan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto yang jadi saksi ahli pada Pengadilan PTUN Jakarta tentang kasus pengadaan kapal patroli Mabes Polri tahun 2009 mengatakan, BUMN adalah entitas bisnis yang tidak bisa disamakan dengan norma publik yang kaku.
"Bisnis itu harus cepat dalam mengambil keputusan. Setahu saya seperti KAI mereka bisa mengambil keputusan dalam hal pengadaan yang bersifat mendesak. Oleh karena itu ada aturan yang mengatur secara khusus. Ada Permen BUMN yang mengatur,” ujar Ade.
Dia menambahkan, dalam kasus QCC Pelindo yang sudah sepuluh kali proses tender gagal. "Ya harus ada terobosan. Kunci dalam pengadaan adalah selain harga terendah, kualitas bisa dipertanggungjawabkan,” kata Ade.
Sementara itu, Guru Besar FH UI Erman Rajagukguk mengatakan, subyek hukum yang memiliki kekayaan sendiri seperti BUMN bukan keuangan negara, khususnya BUMN yang berbentuk PT (Persero) dan Perum. "Kecuali Perusahaan Jawatan (Perjan), negara boleh monopoli di situ. Karena PT itu mencari keuntungan, walaupun hasilnya untuk negara,” tegas Erman. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Siap-siap, Pansus Pelindo II Segera Sasar Proyek New Priok
Redaktur : Tim Redaksi