Hal itu disampaikan Erman saat dimintai tanggapannya tentang hasil audit BPK yang mengungkap adanya inefisiensi di PLN saat direktur utamanya dipegang Dahlan Iskan. "Diskresi itu. Bahwa saya harus hidupkan listrik ini, Jakarta jangan mati. Kalau listrik sampai mati-hidup, mati hidup, itu lebih rugi lagi negara," kata Erman kepada JPNN yang menemuinya usai menjadi ahli pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (29/10).
Mantan Deputi Sekretaris Kabinet itu menegaskan, pengeluaran uang perusahaan belum tentu menjadikan inefisiensi. Alasannya, faktor sebab-akibat juga harus diperhitungkan.
"Hitung pula dong kalau misalnya keputusan itu tidak diambil, implikasinya apa. Justru menurut saya itu efisien, karena menekan inefisiensi yang bisa lebih banyak lagi," lanjutnya.
Erman mengakui, PLN memang masih menerima subsidi dari pemerintah sehingga uang yang ada di perusahaan plat merah itu pun tetap uang negara. Hanya saja, lanjutnya, inefisiensi yang menimbulkan kerugian negara tidak bisa otomatis dianggap korupsi jika tidak untuk memerkaya diri sendiri ataupun pihak lain.
"Artinya sepanjang tidak ada pihak yang diperkaya dengan keputusan itu (direksi PLN), bukan (korupsi). Itu kebijakan dan boleh diambil," lanjutnya.
Karenanya Erman juga tak sependapat dengan DPR yang menganggap inefisiensi itu sebagai kerugan negara. "Saya nggak setuju itu. Temuan BPK juga belum tentu betul. Bawa ke pengadilan, coba lihat," tegasnya.
Seperti diketahui, audit BPK menemukan adanya inefisiensi di PLN sebesar Rp 37,6 triliun pada 2009-2010. Inefisiensi tahun 2009 sebesar Rp 17,9 triliun, sedangkan pada 2010 mencapai Rp 19,7 triliun. Inefisiensi itu terjadi saat Dahlan Iskan menjadi Dirut PLN.
Menurut BPK, inefisiensi terjadi akibat PLN tidak mendapat pasokan gas untuk menyalakan pembangkit primer. Selain itu, inefisiensi juga terjadi akibat terlambatnya pengoperasian pembangkit yang masuk proyek 10 ribu megawatt.(flo/ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pertamina Hulu Bangun Tiga Anjungan Baru
Redaktur : Tim Redaksi