Pakar Hukum Sebut Kasus Korupsi Timah Hanya Bisa Diselidiki Polisi & PPNS ESDM

Selasa, 19 November 2024 – 08:42 WIB
Pengadilan Negeri Tipikor menggelar sidang kasus korupsi timah. Dok: source for JPNN.

jpnn.com, JAKARTA - Sidang kasus dugaan korupsi tata niaga timah dengan terdakwa empat pengurus CV Venus Inti Perkasa (VIP) kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (18/11) dengan agenda keterangan saksi ahli dari kuasa hukum CV VIP.

Dalam keterangan Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin yang sekaligus pakar hukum pertambangan, Prof Abrar Saleng menyatakan bahwa dalam kasus pertambangan jika terjadi pelanggaran biasanya diselesaikan secara administrasi dan bukan pidana.

BACA JUGA: Gagal di Kasus Timah, Kejagung Jangan Cari Pengalihan Isu dengan Menumbalkan Polri

“Jika sebuah perusahaan pertambangan memiliki izin usaha penambangan (IUP) maka setiap pelanggaran yang dilakukan masuk dalam sanksi administrasi dan bukan pidana, semua kegiatan pertambangan yang berbasis izin tidak masuk illegal. Yang dipidana menambang di luar izin,” tutur Abrar.

Dia juga mengatakan jika memang terjadi tindak pidana dalam perusahaan penambangan maka selain sanksi administrasi, yang berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pertambangan adalah polisi dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Kementerian ESDM, bukan pihak lain.

BACA JUGA: Perbedaan Data Kerugian Lingkungan Kasus Korupsi Timah Sorot Perhatian di Persidangan

“Lembaga lain tidak bisa melakukan penyidikan, karena ada seorang penyidik pertambangan harus menjalani pendidikan khusus dan SK khusus,” katanya.

Oleh karena itu, lanjutnya, dirinya menganggap bahwa jaksa penuntut umum (JPU) yang menangani kasus dugaan korupsi tata niaga timah senilai Rp 271 triliun ini pun kurang memahami istilah-istilah pertambangan.

BACA JUGA: Begini Penjelasan Ahli Hukum Bisnis soal Kerja Sama PT Timah dengan Swasta

“Ini tidak akan terjadi jika memang penyidiknya adalah orang yang ahli pertambangan,” katanya.

Ketika ditanya jika terjadi tindak pidana pertambangan siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban, dia menyatakan bahwa yang bertanggung jawab adalah perusahaan yang memiliki IUP dan bukanlah pihak ketiga, termasuk masyarakat sekitar.

“Karena berdasarkan undang-undang pertambangan, perusahaan yang memegang IUP sah seandainya ingin bekerja sama dengan pihak ketiga, namun jika ada masalah tanggung jawabnya tetap ada di pihak pemegang IUP,” tuturnya.

Sementara saksi ahli dari Universitas Sumatera Utara, Mahmud Mulyadi menyatakan bahwa UU TIpikor bukanlah UU sapu jagat yang bisa menjerat seseorang berdasarkan adanya kerugian keuangan negara. Karena tidak semua bisa digeneralisasi sebagai tipikor berdasarkan adanya kerugian keuangan negara.

“Kalau semua yang merugikan keuangan negara dianggap sebagai tipikor nah itu kan berbahaya. Karena nelayan yang menangkap ikan secara illegal (illegal fishing) bisa dijerat UU Tipikor. Jangan nanti orang menggali tanah dianggap merusak lingkungan bisa dikenakan pasal tipikor. Fakta-faktanya kita lihat dulu,” kata dosen hukum pidana USU itu.

Doktor Ilmu Hukum USU itu mengingatkan bahwa sebagai UU khusus (lex spesialis), UU Tipikor tidak bisa juga langsung digunakan untuk berbagai perkara. UU ini hanya bisa digunakan ketika tidak ada undang-undang yang mengatur satu perbuatan yang bersifat khusus. Namun, jika ada UU undang-undang khusus, maka baru bisa diberlakukan UU Tipikor.

“Jika ada dua undang-undang khusus diadu, maka mana yang harus diterapkan? Harus dilihat dulu domain perbuatannya. Misalnya jika Undang-undang Tipikor berhadapan dengan undang-undang kepabean, UU Perbankan, UU Perpajakan atau UU Minerba maka belum tentu yang diterapkan UU Tipikor,” ujarnya.

Dia menyebut dalam UU Tipikor harus dibuktikan dulu unsur-usur melawan hukumnya, menguntungkan atau memperkaya diri dan terakhir merugikan keuangan negara.

“Jadi penting menguji apakah melawan hukum dan merugikan keuangan negara. Maka harus diuji dulu UU mana yang dilanggar jika ada irisan dengan UU lain, maka harus diteliti secara khusus dan sistematis,” katanya.

Dia juga mengatakan penggunaan perhitungan kerusakan lingkungan sebagai landasan menghitung besaran dugaan korupsi juga haruslah diuji terlebih dahulu. (cuy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sikap Ahli di Sidang Kasus Timah Tidak Etis, Perhitungan Kerugian Negara Diragukan


Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler