jpnn.com, JAKARTA - Sikap dan tindakan saksi ahli Bambang Hero dalam sidang perkara dugaan korupsi PT Timah memicu kontroversi dan kritik tajam.
Hakim mempertanyakan kepada Hero perihal beberapa IUP yang ia cantumkan. Hal ini terjadi berhubung IUP yang dihitung Hero bukan hanya milik PT Timah.
BACA JUGA: Hakim Desak Auditor BPK Jelaskan Kerugian PT Timah
“Dari 88.900 bukaan, ada berapa yang milik PT Timah. Tapi saudara dalam laporan kerugiannya tidak memisahkan mana yang PT Timah dan non-PT Timah?” tanya Hakim.
Salah satu momen paling mencolok adalah ketika ia menjawab, “Aduh, saya males jawabnya, Yang Mulia,” saat ditanya lebih lanjut mengenai metodenya.
BACA JUGA: Hakim Pertanyakan Kerugian Negara dalam Kasus PT Timah, Ada yang Tidak Dihitung?
Respons ini memunculkan keraguan tentang keseriusan dan kredibilitas sang ahli dalam menyusun laporan yang digunakan dalam proses hukum yang penting.
Lebih lanjut, Bambang Hero diketahui menghitung kerugian negara dengan mencakup seluruh Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Pulau Bangka Belitung, bukan hanya IUP milik PT Timah yang menjadi fokus utama kasus ini.
BACA JUGA: Menyerang Brimob, Jaksa Agung Sedang Cuci Tangan di Kasus Timah dan Tom Lembong?
Total data luas galian yang dihitung mencapai 88.900,462 hektare di seluruh provinsi tersebut, yang menunjukkan pendekatan yang melibatkan izin-izin tambang lain yang tidak relevan dengan permasalahan utama.
Pendekatan seperti ini mengundang pertanyaan terkait relevansi dan akurasi data yang dipresentasikan.
Bambang Hero turut menggunakan citra satelit dari Citra Landsat 8/9 dan Sentinel-2 untuk periode 2015–2023 dalam menghitung luas galian tambang timah di Bangka Belitung.
Namun, kedua jenis citra tersebut hanya memiliki resolusi spasial antara 10 hingga 30 meter, yang dinilai kurang memadai untuk analisis yang membutuhkan akurasi tinggi.
Penggunaan alat dengan resolusi menengah ini menimbulkan ketidakjelasan dalam hasil perhitungan yang disajikan, sehingga dipertanyakan apakah data tersebut cukup akurat untuk memetakan permukaan bumi secara detail dalam konteks perhitungan kerugian negara.
Resolusi menengah ini juga tidak memperlihatkan secara detil apakah bukaan yang dihitung adalah untuk perkebunan, permukiman, atau pertambangan.
Hal ini menjadi krusial karena dalam perkara tata kelola niaga timah, perbedaan antara bukaan tambang timah dan bukaan untuk pasir kuarsa sangat penting.
Di samping itu, penggunaan citra satelit resolusi menengah memiliki tingkat akurasi yang lebih rendah dibandingkan citra satelit resolusi tinggi, sehingga nilai kerugian lingkungan yang dihitung berdasarkan data tersebut menjadi tidak pasti.
Salah satu kelemahan signifikan dalam laporan Bambang Hero adalah tidak adanya pemisahan antara IUP milik PT Timah dan IUP lain di Pulau Bangka Belitung.
Ketika pihak kuasa hukum mempertanyakan mengapa perhitungan tersebut tidak membedakan secara spesifik antara kedua jenis IUP tersebut, Bambang Hero gagal memberikan penjelasan rinci dan kembali mengeluarkan jawaban yang menunjukkan ketidakseriusan.
Di sisi lain, kuasa hukum menyoroti bahwa laporan tersebut tidak mengelompokkan atau melakukan clustering untuk memisahkan IUP yang relevan dengan kasus PT Timah dan IUP lainnya.
Hal ini menimbulkan potensi ketidakakuratan yang serius dalam laporan, karena perhitungan kerugian negara yang diajukan terkesan menyamaratakan semua izin usaha di wilayah tersebut.
Akibat dari pendekatan yang tidak jelas ini, beban kerugian seolah-olah ditanggung oleh semua pemilik IUP di Pulau Bangka Belitung, bukan hanya pihak-pihak yang relevan dengan kasus PT Timah.
Hal ini dikhawatirkan menimbulkan ketidakadilan dan beban yang tidak seharusnya pada pihak lain yang tidak terkait. Dengan metode yang seperti ini, laporan saksi ahli berisiko menyesatkan dan merugikan proses penegakan hukum secara keseluruhan. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif