jpnn.com - Pakar kebijakan publik dan CEO Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menyampaikan analisisnya soal debat cawapres antara tiga kandidat di Pilpres 2024, yakni Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD.
Menurut Achmad Nur, Cawapres Muhaimin dan Mahfud menunjukkan kapasitas sebagai calon pemimpin yang berada di level kebijakan, sedangkan Gibran belum matang dan berada di level anak sekolah yang suka main tebak-tebakan.
BACA JUGA: Mengutip Pengamat, Hasto: Jangan-Jangan Gibran Tidak Paham Greenflation
Achmad menerangkan bahwa dalam pembuatan kebijakan, kemampuan untuk memahami persoalan dengan cara pandang yang strategis bukanlah opsi, melainkan keharusan.
BACA JUGA: Begini Gaya Gibran Mencari Jawaban dari Mahfud, Tom Lembong pun Disebut
Seorang policy maker yang efektif menurutnya harus mampu menembus permukaan masalah dan melihat gambaran besar, mengidentifikasi akar permasalahan dan potensi solusi jangka panjang.
"Ini bukan hanya tentang mencari solusi, tetapi membangun strategi yang berkelanjutan dan menciptakan dampak positif yang luas," ujar Achmad Nur, Senin (22/1).
BACA JUGA: Gibran Mengeklaim Food Estate Ada yang Berhasil, Mahfud MD Tersenyum, Lalu Menundukkan Kepala
Dia mengatakan kecakapan menempatkan prioritas terpenting adalah kunci. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh dengan isu yang bersinggungan, kemampuan untuk memutuskan mana yang harus diutamakan, menentukan efektivitas kebijakan.
Nah, debat cawapres terakhir menurutnya membuka mata publik pada realitas kebijakan di Indonesia. Di satu sisi, ada Muhaimin dan Mahfud MD yang berusaha membahas tema dengan serius dan dalam kerangka 'policy debate'.
"Mereka menunjukkan pemahaman mendalam tentang isu dan potensi solusinya, serta kemampuan untuk mengkomunikasikannya kepada publik dengan efektif," ucapnya.
Di sisi lain, Achmad Nur menyebut ada Gibran yang penampilannya dalam debat terakhir menunjukkan kekurangan yang mencolok.
"Sebagai contoh, ketika Gibran menyentuh soal litium. Pertanyaannya tidak jelas arah dan tujuannya dalam konteks kebijakan nasional. Ini mencerminkan kurangnya pemahaman substansial tentang isu yang dibahas," tuturnya.
Dia juga menilai perilaku Gibran menunjukkan kecenderungan lebih mengutamakan gimmick ketimbang substansi, seperti permainan anak sekolah daripada debat serius tentang masa depan bangsa.
Selain itu, kata Achmad Nur, sikap Gibran cenderung tengil dan kurang menghargai etika debat kebijakan, seperti yang diperlihatkan dalam interaksi dengan Muhaimin dan Mahfud MD, menunjukkan kekurangan dalam kematangan dan pemahaman etika politik.
"Gibran, dalam debat ini, tidak hanya gagal menunjukkan dirinya sebagai sosok pemimpin yang matang, tetapi juga sebagai seseorang yang belum cukup serius dalam berkontribusi pada diskusi kebijakan publik," ujarnya.
Achmad menilai kepemimpinan membutuhkan lebih dari sekadar kemampuan untuk menarik perhatian, yakni perlu kedalaman, kematangan, dan komitmen terhadap substansi.
Dari apa yang telah disaksikan publik pada debat cawapres terakhir, katanya, Gibran masih jauh dari standar tersebut.
"Indonesia butuh sosok yang matang, tidak karbitan, bukan sekadar karena anak dari presiden, tetapi juga memiliki kebijaksanaan, pengetahuan, dan kematangan untuk membawa negara kita maju," ujar Achmad Nur.
Namun, katanya, apa yang diperlihatkan Gibran dalam debat Minggu malam tidak mencerminkan kematangan.
"Sayangnya, dalam debat terakhir ini, Gibran menunjukkan bahwa dia masih lebih memprioritaskan gimmick daripada substansi yang sebenarnya," kata Achmad Nur.(*/jpnn.com)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam