jpnn.com - JAKARTA - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyampaikan penilaian mengenai joget gemoy capres nomor urut 2 Prabowo Subianto.
Reza mengaku merisaukan joget gemoy secara berulang yang dilakukan Prabowo, yang dilakukan tanpa memperhatikan konteks dari acara.
BACA JUGA: Prabowo Paling Ramai Dibicarakan Warganet Seusai Debat Capres, Kenapa?
"Sekarang bukan kondisi fisik Prabowo yang saya risaukan. Toh dia sudah menjalani pemeriksaan di rumah sakit. Joget berulang tanpa memperhatikan konteks acara," kata Reza kepada wartawan di Jakarta, Rabu (13/12).
Sebagai orang yang mendukung Prabowo pada dua kali Pilpres, Reza mengaku terpukau oleh kegesitan Prabowo di tahun 2014 dan 2019.
BACA JUGA: Begini Komentar Milenial soal Gaya Bahasa Prabowo saat Debat Capres
Reza menilai joget gemoy Prabowo menjadi strategi branding dalam rangka meyakinkan publik bahwa mereka sehat.
Hal serupa pernah dilakukan oleh Donald Trump (Presiden Amerika Serikat ke-45) pada 2019 setelah dinyatakan lolos dari serangan COVID-19.
BACA JUGA: Pakar Gestur: Prabowo Terlihat Emosi Ditanya Putusan MK, Cemas soal Pelanggaran HAM
Selanjutnya, Boris Yeltsin (Perdana Menteri Rusia era 90-an), yang dikenal mempunyai riwayat penyakit jantung juga melakukan hal serupa pada tahun 1996.
Reza menjelaskan, kedua tokoh itu berjoget dalam rangka meyakinkan publik bahwa mereka sehat.
Karena sehat, target Trump dan Yeltsin, masyarakat tidak ragu akan kesanggupan mereka memimpin Amerika Serikat dan Rusia.
Dari dua pendekatan itu, menurut Reza, masuk akal jika Prabowo, dengan usianya yang sudah lanjut dan kondisi kesehatannya yang jauh dari prima, melakukan pendekatan serupa guna mempengaruhi persepsi publik.
“No problem. Setiap kontestan Pilpres boleh bikin siasatnya masing-masing," ujar sarjana psikologi itu.
Namun, menurut Reza, Trump dan Yeltsin bergoyang asyik cuma di saat berada di panggung dan ketika musik mengalun. Itu pun hanya satu-dua kali.
Keduanya tidak menjadikan joget sebagai strategi branding yang dipertontonkan terus menerus.
Reza berpandangan pada titik tersebut joget gemoy Prabowo tampak bermasalah.
"Prabowo joget terlalu sering. Tanpa musik pula dan seperti tak kenal situasi. Saat ditanya hal serius, tanpa jawaban tuntas, Prabowo justru "menggenapi" jawabannya dengan berjoget," kata Reza.
Reza menyampaikan, joget berulang tanpa memperhatikan konteks acara, ditambah pernyataan-pernyataan Prabowo yang serba mengambang dan terputus, itulah yang membuatnya waswas akan satu hal, yaitu executive functioning Prabowo.
Dijelaskan bahwa executive functioning bersangkut-paut dengan kesanggupan manusia mengelola informasi lalu membuat keputusan yang solid.
Joget Prabowo terkesan sebagai bentuk kompensasi, sekaligus pengalihan perhatian audiens, atas menurun jauhnya kemampuan Prabowo berpikir strategis dan tuntas di level tertinggi pejabat negara.
Dia mengingatkan strategi branding lewat joget juga berpotensi menjadi senjata makan tuan.
Ketika orang-orang di sekitar Prabowo terus mengarahkan Prabowo untuk berjoget, itu berarti mereka bukan melatih Prabowo untuk memulihkan executive functioning-nya, melainkan justru mempertumpul kapasitas kognitif Prabowo.
"Sudah hampir dua jam debat berlangsung. Executive functioning Prabowo tertakar, dan saya berempati pada beliau," ujar Reza. (antara/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu