Pakar Minta Pemerintah Waspadai Bencana Ekstrem 32 Tahunan

Sabtu, 11 Mei 2024 – 13:57 WIB
Pakar Pertahanan dan Pangan Dina Hidayana mengingatkan presiden terpilih untuk tidak lagi menunda prioritas pada hal fundamental, yakni sektor pangan. Foto: source for jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Pakar Pertahanan dan Pangan Dina Hidayana mengingatkan presiden terpilih untuk tidak lagi menunda prioritas pada hal fundamental, yakni sektor pangan.

Menurut Dina, perlu pemerintahan mendatang perlu segera berkonsentrasi penuh dalam mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan.

BACA JUGA: Kementan Mengevaluasi Upsus Antisipasi Darurat Pangan di Kalimantan Selatan

Hal tersebut tidak bisa sekedar dijadikan retorika, mengingat pangan yang dikonsumsi manusia, tidak seluruhnya ada tersedia gratis di alam.

"Sebagian besarnya harus diproduksi atau dibudidaya dan itu memerlukan waktu yang tidak singkat, sementara jumlah manusia terus bertambah eksponensial, ujar" Dina dalam keterangannya seusai memimpin Rapat Pleno Pengurus Ikatan Alumni Pertanian (IKATANI) beberapa waktu yang lalu.

BACA JUGA: Kementan Menggelar TOT Gerakan Antisipasi Darurat Pangan Nasional 2-4 Mei

Dina menjelaskan bahwa ketersediaan bahan baku pangan, baik itu unsur hewani maupun nabati tidak bisa instan. 

Beberapa jenis Ikan air tawar misalnya membutuhkan kisaran waktu 2-9 bulan untuk budidaya, ayam kampung bisa sampai tiga bulan, Padi minimal dua bulan, kedelai yang menjadi bahan baku tahu dan tempe berusia 2-3 bulan, begitu pula jenis sayuran dan buah-buahan yang variatif masa panennya, seluruhnya memerlukan proses dan waktu.

Lebih lanjut, Dina Hidayana menegaskan pentingnya manajemen yang berfikir sistematis dan komprehensif dalam mengatasi problematika gurita pangan Indonesia, baik dalam kondisi damai maupun untuk cadangan antisipasi perang dunia ketiga. 

Persoalan ketersediaan, kontinuitas, kualitas dan daya beli masyarakat terhadap pangan perlu skema yang terkonsep secara integral, tidak bisa parsial. Inilah salah satu fungsi Presiden nantinya dalam mengharmonisasikan lintas sektor sehingga seluruh kementerian/lembaga bergerak untuk tujuan yang sejalan. 

Alumnus Doktoral Universitas Pertahanan RI itu menggunakan metode Computable General Equilibrium (CGE) dalam memprediksi beberapa skema keterkaitan lintas sektor dan subsektor. 

Dina menyebut ada trend negatif yang perlu diwaspadai, yakni potensi bahaya 32 tahunan. 

Hasil proyeksi simulasi pesimistik pada 2030 dengan penurunan produksi pangan sejumlah 10 persen maka berpotensi meningkatkan inflasi hingga 170 persen dari base scenario. 

"Sebaliknya, peningkatan produksi pangan sejumlah 10 persen justru menurunkan inflasi sebanyak lima kali lipat dari base scenario," uap Dina.

Artinya, lanjut Dina, kita perlu mewaspadai penurunan produktivitas pangan, karena signifikan terhadap tingginya laju inflasi yang berujung pada instabilitas nasional, urai Dina Hidayana. 

Mempertegas itu, Dina mengingatkan fenomena masa Orde Lama di tahun 1966 diawali dengan guncangan ekonomi dahsyat, yang diiringi bencana kelaparan, kematian massal dan utang negara yang fantastis dengan hiperinflasi mencapai 650 persen, sehingga mengakibatkan berakhirnya Rezim Presiden Soekarno.

Kejadian serupa pada penghujung masa Orde Baru 1998, harga pangan tak terkendali akibat akumulasi pergeseran industri pangan ke ekstraktif dan ketergantungan pada importasi pangan pokok yang terus meningkat hingga puncaknya inflasi lebih dari 70 persen serta merta meniadakan Rezim Soeharto sekali pun telah berkuasa 32 tahun. 

"Dengan pola sejenis, diprediksi 2030 akan terjadi bencana ekstrim serupa, apabila tidak segera dilakukan upaya mitigasi sejak sekarang" kata Dina.

Karenanya Dina Hidayana yang juga Ketua Depinas SOKSI ini mendorong pemerintah untuk memulai aksi revolusi kebijakan sektor pangan dan pertanian secara konkrer dan fundamental dimulai dari mereformulasi konsepsi yang terintegrasi antaraktor dan wilayah serta keberpihakan anggaran terhadap sektor pangan.(mcr10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler