jpnn.com, JAKARTA - Pakar Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada Nyarwi Ahmad mengatakan potensi penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power oleh presiden sulit terhindarkan.
Dia menyebut hal ini akibat dari kelemahan belum ada regulasi yang mengatur secara khusus terkait akuntabilitas presiden dan undang-undang khusus tentang lembaga kepresidenan dalam situasi pemilu atau dalam keadaan normal untuk menjaga netralitas dan menjaga keberpihakan.
BACA JUGA: Luhut dan Surya Paloh Bertemu 4 Mata, Bang Nyarwi Ahmad Menganalisis Begini
“Di tengah budaya politik Indonesia yang cenderung feodalistik seperti ini, orang-orang di sekitar presiden cenderung menempatkan presiden sebagai raja seperti dalam sistem monarki. Padahal kita ini menganut sistem demokrasi. Ini yang saya kira, godaan-godaan mengarah pada abuse of power ini sangat tinggi,” ujar Nyarwi Ahmad saat berbicara dalam diskusi publik bertema “Presiden Nyatakan Dirinya Boleh Kampanye dan Memihak: Abuse of Power?” pada Jumat (26/1/2024).
Narasumber lain yang juga hadir dalam diskusi publik yang digelar Dewan Pimpinan Pusat Indonesian Youth Conggress (DPP IYC) ini adalah Pengamat Politik Universitas Nasional Robi Nurhadi dan Praktisi Pemilu dan Demokrasi Neni Nurhayati.
BACA JUGA: Gelar Doa Bersama, AKBP Kurnia Setyawan Doakan Pemilu 2024 di Meranti Aman & Damai
Turut hadir sebagai peserta diskusi antara lain sejumlah mahasiswa, perguruan tinggi, organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan serta masyarakat luas.
Lebih lanjut, Nyarwi menjelaskan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan itu dipilih langsung oleh rakyat di Indonesia.
BACA JUGA: Soal Presiden Boleh Memihak, Tim Hukum AMIN Bakal Laporkan Jokowi ke Bawaslu
Pasca-reformasi itu tidak ada mekanisme mengecek atau mengevaluasi untuk bagaimana Presiden menggunakan kekuasaannya yang didapatkan melalui hasil pemilu itu.
Nyarwi mengatakan dahulu pada masa orde baru ada mekanisme untuk bagaimana Presiden melaporkannya kepada MPR, tetapi dahulu juga melihat banyak manipulasi itu terjadi.
Dia menyebut banyak politisi yang dibesarkan oleh rezim Soeharto. Saat ini belum ada regulasi yang mengatur untuk bagaimana kekuasaan Presiden atau peran dan fungsi Presiden baik sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Kemudian akuntabilitasnya seperti apa, dan apakah benar seorang presiden itu bekerja untuk menjalankan tugas-tugas negara sepenuhnya 100 persen.
Dalam konteks kasus Jokowi, kata Nyarwi, anaknya calon wakil presiden pada pemilu 2024. Bagaimana publik melihat akuntabilitas Presiden? Tentu ini sulit terhindarkan.
Problemnya adalah karena sejauh ini belum ada UU yang mengatur akuntabilitas bagi pejabat publik dan pejabat politik seperti tahun pemilu seperti ini.
”Untuk memastikan hal tersebut publik punya hak sebagai pemilik kedaulatan agar menjamin akuntabilitas Presiden dan pejabat public karena rakyat yang memilih Presiden. Hal ini dijamin dalam UUD Pasal 9 bahwa Presiden mempunyai sumpah janji jabatan di mana Presiden menjalankan tugas sebaik-baiknya, seadil-adilnya, dan selurus-lurusnya,” ujar Nyarwi.
Syarwi juga merespons pernyataan Ketua KPU RI bahwa Presiden Jokowi boleh mengajukan dirinya untuk berkampanye. Namun, salah satu syaratnya adalah mengajukan cuti.
“Pertanyaan berikutnya, Presiden mengajukan cuti kepada siapa? Apakah Presiden mengajukan cuti kepada dirinya sendiri? Padahal hanya ada satu presiden. Nah, hal-hal semacam ini saya pikir paradoks dan berpotensi munculnya abuse of power. Artinya, terjadi penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan,” ujar Nyarwi.
Sementara itu, perwakilan Indonesian Youth Congress Hasnu Ibrahim mengatakan sebagai perkumpulan Kongres Pemuda Indonesia dirinya berkewajiban menjaga stabilitas politik, stabilitas sosial dan keberlangsungan konsolidasi demokrasi substantif di Indonesia.
Selain itu, menjamin Pemilu berjalan secara langsung, umum, bebas, rahasi dan jujur dan adil menuju pencoblosan pada 14 Februari 2024 mendatang.
Indonesian Youth Congress, kata Hasnu, meyakini bahwa Pemilu demokratis, integritas dan bermartabat hanya dapat dilahirkan dari 4 komponen penting. Pertama, Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) yang profesional. Artinya penyelanggara Pemilu yang “tidak nakal dan tidak genit” atau di bawah tekanan peserta pemilu atau rezim yang sedang berkuasa.
Kedua, peserta pemilu (parpol, Tim Sukses dan Relawan) yang mengedepankan ide dan gagasan konkrit yang menyentuh persoalan publik.
Ketiga, pemilih yang rasional. Tidak tergiur dengan “gimmick dan framing politik” yang menyesatkan.
Keempat, pemerintah (Presiden, Menteri, Lembaga Negara, Birokrasi/ASN, TNI, Polri, Gubernur, Bupati, dan Kepala Desa) yang cawe-cawe, nakal bahkan berlaku tidak netral.
Dia mengajak semua pihak agar mengawal secara ketat pelaksaan Pilpres 2024 mendatang.
“Kami mendorong Bawaslu dapat menggunakan secara baik kewenangannya untuk mengawasi netralitas presiden, menteri, TNI, Polri, birokrasi, ASN, dan kepala desa agar tidak berpihak kepada capres-cawapres tertentu,” pungkas Hasnu.(fri/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Friederich Batari