Pakar Puji Gaya Komunikasi Gibran dan Kaesang Saat Hadapi Serangan

Rabu, 02 Oktober 2024 – 18:58 WIB
Gibran Rakabuming Raka kawal pembangunan Kota Solo. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep kembali mendapat sorotan netizen setelah melakukan blusukan di Kabupaten Tangerang, Banten pada Selasa, 24 September 2024.

Anak bungsu Presiden Jokowi itu mengenakan rompi bertuliskan “Putra Mulyono”. Mulyono merupakan nama kecil Jokowi.

BACA JUGA: Lewat Hilirisasi Nikel, Fokus Pemerintahan Prabowo-Gibran Ingin Ekonomi Tumbuh 8 Persen

Sebelum Kaesang, anak Jokowi yang lain, Gibran Rakabuming juga pernah mendapat perhatian.

Pada 30 Desember 2023, melalui akun X pribadinya, Gibran membagikan meme bertuliskan “Panggil Aku Samsul Paman”. Julukan Samsul merupakan akronim dari asam sulfat yang diberikan warganet.

BACA JUGA: Anindya Bakrie Mendukung Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen di Era Prabowo – Gibran

Pakar Komunikasi Politik dari Universitas MNC Widiya Noviasari memuji gaya komunikasi Gibran dan Kaesang yang mampu menghadapi serangan di media sosial dengan santai dan elegan.

Menurut Widiya, dalam perspektif komunikasi politik, Gibran dan Kaesang menggunakan strategi Self Defense Humour dengan merespons berbagai fitnah, nyinyiran, serta serangan dengan humor yang cerdas.

BACA JUGA: PDIP Bakal Masuk Kabinet Prabowo-Gibran? Puan Maharani Bilang Begini

Meski masih muda, Gibran dan Kaesang dinilai telah menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik, tidak mudah tersinggung ketika mendapatkan kritik dari publik.

Gaya komunikasi politik Kaesang ini dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu tradisi Jawa, teknologi, dan psikologis generasi milenial.

“Pertama, orang Jawa itu mendukung konsep harmoni. Ajaran-ajaran budaya Jawa tidak suka menyerang secara frontal. Ini melekat pada putra Presiden Jokowi. Mereka membawa tradisi politik Jawa dalam komunikasi politiknya,” ujar Widiya, Rabu (2/10/2024).

Menurut Widiya, dari perspektif komunikasi budaya, apa yang dibawa dari budaya itu dikomunikasikan kepada publik sesuai tradisi yang diterima dari budaya sekitar dan diwariskan orang tua.

“Jadi, sulit untuk berharap bahwa Kaesang dan Gibran akan baper terhadap ejekan, fitnah, dan segala hal negatif yang mereka terima,” ujar Widiya.

Kedua, Widiya menjelaskan Gibran dan Kaesang adalah bagian dari generasi milenial yang akrab dengan dunia digital dan informasi.

Keduanya dinilai berhasil memanfaatkan media sosial dengan efektif untuk merespons publik dengan gaya yang nyentrik.

“Jangan lupakan (bahwa) mereka adalah generasi native digital. Perspektif komunikasi mereka sangat dipengaruhi dan dimainkan oleh media sosial sebagai platform politik mereka. Mereka membaca, mengenali, dan memengaruhi persepsi publik melalui media sosial,” ujarnya.

Selayaknya anak muda sekarang, kata dia, media sosial menjadi alat komunikasi dan transaksi gagasan. Komunikasi politik melalui media sosial menyerap informasi secara langsung, dan mereka tidak mudah terbawa perasaan.

Ketiga, Widiya menjelaskan Gibran dan Kaesang berkomunikasi dengan gaya milenial, namun tidak reaktif dalam menanggapi kritik yang ditujukan kepada mereka.

Widiya menambahkan bahwa mereka mencoba bersikap santai dan tidak merasa perlu merespons kritik dengan kemarahan atau serangan balik kepada pihak yang mengkritik. Sikap ini secara tidak langsung menjadi "serangan balik" bagi para pengkritiknya, karena mereka tidak terprovokasi.

“Secara psikologis, Gibran dan Kaesang mengamati apa yang menjadi konsumsi publik, kemudian menampilkannya dengan gaya milenial mereka. Mereka menanggapi kritik secara santai, menjawabnya dengan bukti, dan tidak menghabiskan waktu untuk berbalas komentar politik,” paparnya.

“Tiga kondisi ini yang membentuk dan memengaruhi sikap politik mereka, sehingga membuat publik melihat mereka sebagai politisi yang penuh kedewasaan,” lanjutnya.

Selain itu, Widiya mengatakan bahwa dalam perspektif komunikasi politik, penggunaan rompi bertuliskan "Putra Mulyono" oleh Kaesang adalah bentuk humor politik yang mengekspresikan gaya politik santai, rendah hati, dan cenderung nyeleneh.

“Seperti yang saya katakan tadi, generasi milenial, zilenial, dan alpha punya cara tersendiri dalam menyampaikan pesan politik dan menjawab stigma negatif. Kaesang dengan gaya Jawa cenderung tidak membalas tudingan secara frontal,” ujarnya.

Widiya juga menyebutkan bahwa tradisi seperti ini bagus untuk membentuk budaya politik di masa depan, agar politik tidak lagi diwarnai oleh ketegangan, kemarahan, dan keributan yang merusak persatuan bangsa.

"Kaesang seakan mau bilang, ya ora popo mau kritik saya, tetapi saya juga punya cara sendiri menjawab apa yang orang stigma negatif ke saya, berpolitik gak usah baper-baperan, justru berpolitik riang gembira menjadi tujuan utama dari pesan Kaesang tersebut,” ujar Widiya.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler