Pakar: Sekarang Ini, Anda Pun Tak Tahu Telah Disadap

Sabtu, 04 Februari 2017 – 19:26 WIB
Pratama Persadha. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - jpnn.com - Pakar Hukum Informasi Teknologi dan Kriptografi, Pratama Persadha memang belum bisa memastikan pembicaraan via telepon antara Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin disadap atau tidak.

Namun bicara teknologi penyadapan, informasi yang disampaikan Pratama terbilang ngeri-ngeri sedap. Pasalnya, di era sekarang ini, setiap orang tidak akan mengetahui bila dirinya jadi target penyadapan.

BACA JUGA: PANAS! Kubu Ahok Ancam Perkarakan SBY

"Sekarang kita belum punya UU khusus yang mengatur masalah penyadapan, sehingga kita tidak tahu diri kita disadap atau tidak. Ini menyebakan privasi kita berpotensi untuk dilanggar," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (4/2).

Setiap orang yang jadi target penyadapan, semua yang disampaikannya melalui media komunikasi baik handphone (HP), fax, fiber optic, radio dan jenis lain, pasti bisa disadap. Sebab, tidak ada satu pun sistim komunikasi yang tak bisa disadap di dunia ini.

BACA JUGA: Kejagung Punya Alat Sadap Tapi Tak Digunakan

Misalnya HP, ada banyak cara menyadapnya. Bisa dengan melakukan koneksi ke operator menggunakan teknologi IP-Digital Record. Atau dengan Portable interception. Semacam alat yang bisa dibawa paka tas atau diletakkan di dalam mobil.

Kecanggihan alat sadap ini mampu menyedot data dengan jarak radius 1-2 km di sekitarnya. Dengan alat ini bisa mengambil semua pembicaraan, sms, telepon. Semua nomor yang diambil juga bisa digunakan untuk menelepon orang lain dengan pulsa mereka tanpa diketahui.

BACA JUGA: Inilah Alasan Anak Buah SBY Gulirkan Angket Penyadapan

"Itu kita melakukan cloning tanpa kita perlu sama sekali secara fisik memegang sim card-nya. Tapi teknologi ini sangat mahal. Harganya tidak kurang dari Rp80 miliar per unit. Bisa sampai 200-300 miliar kalau yang lebih canggih," ungkap Pratama.

Dan juga, alat ini tidak sembarang orang bisa membeli. Perusahaan pembuat pasti akan meminta sertifikat end user kepada setiap pembelinya. Sehingga, teknologi ini hanya bisa dijual pada pemerintah atau aparat penegak hukum, intelijen.

Nah, yang jadi masalah menurut dia, ketika banyak orang tahu bahwa intercept bisa digunakan untuk melakukan black mail, pencurian informasi, sehingga membelinya melalui pasar gelap.

"Jika orang beli ini, dia bisa melakukan apa saja. Dengan teknologi sekarang ini orang tidak tahu dirinya disadap, anda tidak merasakan telah disadap. Ini yang membahayakan, sekarang ini," paparnya.

Terlebih, belum ada kontrol terhadap aparat penegak hukum, pemilik alat penyadapan. Ketika pengadilan misalnya mengizinkan aparat menyadap tiga orang, maka tidak ada yang bisa menjamin alat itu digunakan untuk order 100 orang atau lebih dan berapa lama penyadapan dilakukan.

"Ini yang dulu sempat mau ada rancangan PP tentang tata cara penyadapan, tapi dianulir lagi. Saya menyarankan adanya pusat intercept, ketika ada aparat kepolisian meminta penyadapan, itu bisa terautentifikasi. Ketahuan oleh sistem ketika menyadap tiga orang, tapi request-nya lebih dari tiga orang, sistem akan tahu," pungkas dia.(fat/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Komisi Intelijen DPR Yakin Penyadap SBY Bukan BIN


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler