jpnn.com, JAKARTA - Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Center for Peace, Conflict and Democracy (CPCD) menyelenggarakan diskusi online bertajuk "De-Radikalisasi VS Re-Radikalisasi: Mengurai Benang Kusut Penanganan Terorisme". Kegiatan berlangsung pukul 13.30 Wita secara virtual melalui aplikasi zoom meeting, Senin (12/04).
Hadir sebagai narasumber yakni Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA., (Guru Besar Sosiologi Konflik Unhas, CPCD Senior Researcher, dan Rektor Unhas), Beni Sukadis (UNDP Consulant, Peneliti Intelijen dan Keamanan) dan Lian Gogali (Institute Sintuwu dan Sekolah Perdamaian Perempuan Poso)
BACA JUGA: KNPI Minta Jenderal Listyo Sigit dan Boy Rafli Lebih Waspada Tangani Terorisme
Pada kesempatan awal, Lian Gogali menyampaikan pandangannya tentang konflik yang terjadi di Poso. Beliau menuturkan perlu adanya ruang bertemu yang lebih luas sebagai wadah untuk saling mengurai prasangka sosial yang terbentuk pada masyarakat poso.
"Karena, ketika hal ini tidak diurai secara mendalam akan semakin meningkatkan potensi konflik di daerah. Olehnya itu, penting untuk membangun social trust dan kolaborasi untuk membangun solidaritas dalam kehidupan masyarakat," ujar Lian.
BACA JUGA: Respons Peringatan Kedubes AS, IPW: Polri Harus Bersihkan Sarang Terorisme
Pada kesempatan yang sama, Beni Sukadis juga mengemukakan pendapatnya mengenai "Deradikalisasi Vs Reradikalisasi: Evaluasi Program Deradikalisasi BNPT".
Dia menuturkan radikalisme merupakan suatu paham yang menginginkan adanya perubahan sosial dan politik dengan kekerasan. Untuk Indonesia sendiri, Beni mengatakan masalah radikalisme dan terorisme masih ancaman menengah, belum menjadi ancaman utama.
BACA JUGA: Nama FPI dan Munarman Kembali Dikaitkan dengan Terorisme, Aziz Yanuar Murka
"Tetapi, harus tetap dilakukan berbagai upaya pencegahan," ujar dia.
Dalam penanganan terorisme, Beni menambahkan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memiliki peran besar untuk menyusun dan menetapkan kebijakan strategis dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme.
"Sejak tahun 2012, banyak upaya pencegahan terorisme yang dilakukan oleh BNPT salah satunya melalui deradikalisme. Strategi ini ditujukan pada kelompok inti dan militan terorisme dengan melaksanakan kegiatan seperti penangkalan, rehabilitasi hingga reduksi," kata Beni.
Penyampaian materi ditutup oleh pandangan dari Prof. Dwia mengenai "Partisipasi Komunitas Dalam Penanganan Terorisme". Beliau menuturkan terorisme saat ini cukup berkembang. Pada tahun 2019, sarang terorisme hanya terjadi pada 10 provinsi di Indonesia.
"Hal ini mengalami perkembangan, dimana untuk tahun 2021 terjadi di 19 provinsi. Penyebab terjadinya terorisme dipengaruhi oleh lingkungan, agama, ekonomi, sosial, politik dan hukum," ucapnya
Lebih lanjut, Prof. Dwia menjelaskan juga terjadi orientasi yang lebih sporadis. Pada medio 2000 sampai 2010, aksi teror lebih berfokus pada objek simbol-simbol Barat seperti Bali dan Hotel JW Marriot.
Aksi teror ini kemudian berubah objek pada yang lebih luas yakni masyarakat sipil. Juga terjadi pola perubahan perilaku dari terorisme berjejaring menjadi terorisme independent.
"Untuk pencegahan dan penanggulangan perlu dilakukan penanganan terstruktur oleh BNPT dan aparat keamanan. Tidak hanya itu, partisipasi masyarakat maupun komunitas dengan pendekatan menyentuh dan simpatik serta beberapa hal lainnya yang dapat dilakukan," ungkap Prof Dwia. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil