Pakar: Wacana Pemakzulan Presiden Hanyalah Imajiner, Tak Punya Basis Konstitusional

Kamis, 18 Januari 2024 – 11:33 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid. Foto: Ist for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid angkat bicara terkait wacana pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Ia menilai, usulan pemakzulan oleh Petisi 100 tersebut bersifat politis.

BACA JUGA: Pemakzulan Presiden Jokowi Dinilai Tak Punya Landasan Konstitusional Kuat

Menurutnya, pemakzulan terhadap Presiden Jokowi harus memenuhi anasir-anasir absolut yang bersifat "Measurable".

Secara konstitusional, kata Fahri, wacana pemakzulan presiden tidak mempunyai basis legal konstitusional. Sehingga wacana tersebut bisa dibilang hanya imajiner belaka.

BACA JUGA: Muzani Sebut Usulan Petisi 100 Soal Pemakzulan Presiden Jokowi Tidak Memenuhi Syarat

"Ini sangat destruktif dalam upaya membangun demokrasi konstitusional saat ini. Sebab secara konstitusional discourse terkait pemakzulan presiden tidak mempunyai basis legal konstitusional, sehingga bernuansa imajiner belaka," tuturnya dalam keterangan, Kamis (18/1/2024).

Fahri melanjutkan, lembaga pemakzulan/impeachment Presiden telah diatur secara limitatif dalam konstitusi (UUD NRI 1945), seperti ketentuan norma Pasal 7A dan 7B.

BACA JUGA: Tanggapi Isu Pemakzulan Presiden Jokowi, Saleh: Jangan Memperkeruh Situasi

"Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden," ujarnya.

Selain itu, kata Fahri, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum.

Ketentuan terkait proses ini diajukan dengan minimal dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota.

"Jika MK memutuskan presiden dan atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan atau wakil presiden kepada MPR," ujarnya.

Setelah itu, MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak menerima usul dari DPR. Keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Dengan catatan, presiden dan atau wakil presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.

"Dengan demikian merupakan sesuatu yang sangat mustahil dari aspek kaidah hukum tata negara untuk dilakukan proses pemakzulan presiden dalam ketiadaan sangkaan yang spesifik secara hukum," tutup Fahri Bachmid.(ray/jpnn)


Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler