JAKARTA - Undang-undang yang memayungi Pemilu di Indonesia saat ini dinilai hanya sebagai produk tambal sulam. Sebab, paket UU Pemilu tidak dirumuskan secara komprehensif.
Penilaian itu disampaikan Profesor Riset Ilmu Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, dalam diskusi bertema "Dialog Publik Menyongsong UU Pemilu Baru" yang diselenggarakan lembaga kajian Seven Strategic Studies di Jakarta, Kamis (29/3). Syamsuddin mengatakan, ada tiga hal penting yang harus dikaitkan dengan UU Pemilu, yaitu sistem pemerintahan, sistem kepartaian dan sistem perwakilan.
Hanya saja Syamsuddin mengkritisi karena UU tentang Penyelenggara Pemilu, UU Pemilu Legislatif (Pileg) dan UU Pemilu Presiden (Pilpres) dibahas secara terpisah. "Pansus UU Pemilu, beda dengan Pansus UU Penyelenggara Pemilu, nanti Pilpres beda lagi. Penyusunan UU yang tak komprehensif itu jadi seperti tambal sulam," katanya.
Lebih lanjut Syamsuddin mengatakan, semestinya ada payung hukum dalam bentuk UU yang memayungi paket UU Pemilu. Sayangnya, kata Syamsuddin yang pernah menyusun naskah akademik RUU komprehensif tentang Pemilu, DPR dan pemerintah justru tak setuju.
Akibatnya, UU tentang Pemilu baik Pileg ataupun Pilpres dibahas secara parsial dan tanpa skema yang jelas. Ia mencontohkan, dalam pembahasan tentang ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) di DPR saja masing-masing fraksi parlemen tidak punya skema yang jelas.
Menurutnya, jika menganut sistem multipartai maka tetap harus ada ambang batas sekaligus toleransi untuk penerapannya. "Saya berpendapat kalau mau multipartai, prosentase maksimum lima persen. Katakanlah itu bisa dicapai dalam dua kali pemilu. Jadi Pada Pemilu 2014 naiknya 3-4 persen," cetusnya.
Pembicara lain yang hadir dalam diskusi tersebut, Kacung Marijan, juga menganggap pemerintah dan DPR tidak memiliki skema yang jelas tentang PT. Padahal, kata guru besar ilmu politik Universitas Airlangga itu, PT diperlukan sebagai instrumen untuk menyederhanakan sistem kepartaian.
Namun tentu saja partai menengah dan kecil tidak akan setuju dengan angka PT yang terlalu tinggi. Terlebih lagi, saat ini persoalan alokasi kursi di tiap daerah pemilihan juga masih alot dibahas.
"Partai kecil dan mungkin juga partai menengah yang cenderung kecil tentunya tidak mau pada Pemilu 2014 nanti jadi dua kali kalah. Kalah karena faktor dapil dan PT," ulasnya.
Sedangkan Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu, Arwani Thomafi mengatakan, besar kemungkinan pembahasan tentang RUU Pemilu bakal molor. Pasalnya, terdapat empat persoalan krusial dalam RUU Pemilu yang akan menggantikan UU Nomor 10 Tahun 2008, yang masih belum disepakati.
Empat masalah krusial itu adalah PT, alokasi kursi di setiap dapil, jumlah dapil, serta sistem penetapan caleg terpilih yang masih tarik ulur antara proporsional terbuka dan tertutup. "Ada sembilan fraksi dengan kepentingan berbeda-beda, sementara pada 6 April besok sudah masa reses. Saya usulkan adanya perpanjangan waktu sehingga kerja Pansus bisa maksimal," cetusnya.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tampar Orang, Politisi PAN Hanya Dapat Teguran
Redaktur : Tim Redaksi