JAKARTA - Politisi Partai Amanat Nasional (PAN), Viva Yoga Mauladi mengatakan, berdasarkan Undang-undang Pangan, pemerintah berkewajiban menjamin ketersediaan, keamanan, keterjangkauan, mutu gizi, stabilisasi pasokan, dan pengendalian harga.
"Jika pemerintah tidak melaksanakan amanat itu, maka pemerintah dikatakan melanggar UU," ujar Viva kepada JPNN, Minggu (17/3).
Menurut politisi PAN tersebut, pada masa pemerintahan orde baru, pasokan dan harga bahan pangan atau pangan pokok dikendalikan pemerintah, meski kebijakannya bersifat oligopoli. "Oligopoli oleh negara yang dilakukan demi keamanan dan kedaulatan pangan menurut saya diperbolehkan," terangnya.
Nah, hal itu berbeda dengan pemerintah saat ini. Viva mengatakan, sekarang pasokan dan pengendalian harga ditentukan oleh mekanisme pasar yang liberalistik. Dalam praktiknya, kata dia, tidak ada mekanisme pasar sempurna, yang terjadi adalah penguasaan pasokan oleh kekuatan modal yang mengendalikan harga.
"Negara atau pemerintah tidak kuasa dalam subordinasi kekuasaan pemodal. Akibatnya, kebijakan yang diterapkan cenderung bersifat liberalistik, tidak pro poor, tidak melindungi petani," ucap dia.
Karena itu, kata Viva, pemerintah harus mendata secara serius sistem permintaan dan penawaran sehingga diperoleh angka valid yang dipakai dalam merumuskan kebijakan ekonomi. Pasalnya, seringkali ada data yang tidak valid sehingga membuat pemerintah melakukan kebijakan instant dan membuka kran impor.
Kemudian lanjut Viva, pemerintah harus mendata luas lahan untuk penanaman bawang merah atau bawang putih dan produksi per panen. Jika kurang luas, maka perlu penambahan program ekstensifikasi atau intensifikasi terhadap petani bawang.
"Pemberian subsidi benih, pupuk dan harga harus dilakukan pemerintah agar petani bawang tetap bersemangat menanam bawang, tidak akan alih ke tanaman lain," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, persoalan pangan itu jangan diukur dari sudut perdagangan saja, di mana jika harga impor lebih murah maka lebih baik impor. Itu merupakan pandangan parsial yang bernuansa liberal kapitalistik.
"Persoalan pangan itu menyangkut soal hajat hidup rakyat Indonesia, bukan saja soal mata pencarian, namun juga soal kesejahteraan sosial, keadilan, HAM, dan peran negara yang melindungi rakyat Indonesia," terangnya.
ââ¬â¹Selanjutnya, Viva mengatakan pemerintah harus serius melakukan reorientasi dan revitalisasi kebijakan pertanian. Pria kelahiran Lamongan tersebut berpendapat apa yang diprogramkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dua hal tadi ternyata di lapangan tidak berjalan, stagnan dan cenderung semakin memperburuk infrastruktur pertanian di indonesia.
"Jika ini dibiarkan maka akan menggadaikan kedaulatan negara kita. Sebab Soekarno pernah mengatakan barang siapa suatu negara dalam hal pangan tidak berdaulat maka akan membahayakan kedaulatan negara," kata dia. (gil/jpnn)
"Jika pemerintah tidak melaksanakan amanat itu, maka pemerintah dikatakan melanggar UU," ujar Viva kepada JPNN, Minggu (17/3).
Menurut politisi PAN tersebut, pada masa pemerintahan orde baru, pasokan dan harga bahan pangan atau pangan pokok dikendalikan pemerintah, meski kebijakannya bersifat oligopoli. "Oligopoli oleh negara yang dilakukan demi keamanan dan kedaulatan pangan menurut saya diperbolehkan," terangnya.
Nah, hal itu berbeda dengan pemerintah saat ini. Viva mengatakan, sekarang pasokan dan pengendalian harga ditentukan oleh mekanisme pasar yang liberalistik. Dalam praktiknya, kata dia, tidak ada mekanisme pasar sempurna, yang terjadi adalah penguasaan pasokan oleh kekuatan modal yang mengendalikan harga.
"Negara atau pemerintah tidak kuasa dalam subordinasi kekuasaan pemodal. Akibatnya, kebijakan yang diterapkan cenderung bersifat liberalistik, tidak pro poor, tidak melindungi petani," ucap dia.
Karena itu, kata Viva, pemerintah harus mendata secara serius sistem permintaan dan penawaran sehingga diperoleh angka valid yang dipakai dalam merumuskan kebijakan ekonomi. Pasalnya, seringkali ada data yang tidak valid sehingga membuat pemerintah melakukan kebijakan instant dan membuka kran impor.
Kemudian lanjut Viva, pemerintah harus mendata luas lahan untuk penanaman bawang merah atau bawang putih dan produksi per panen. Jika kurang luas, maka perlu penambahan program ekstensifikasi atau intensifikasi terhadap petani bawang.
"Pemberian subsidi benih, pupuk dan harga harus dilakukan pemerintah agar petani bawang tetap bersemangat menanam bawang, tidak akan alih ke tanaman lain," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, persoalan pangan itu jangan diukur dari sudut perdagangan saja, di mana jika harga impor lebih murah maka lebih baik impor. Itu merupakan pandangan parsial yang bernuansa liberal kapitalistik.
"Persoalan pangan itu menyangkut soal hajat hidup rakyat Indonesia, bukan saja soal mata pencarian, namun juga soal kesejahteraan sosial, keadilan, HAM, dan peran negara yang melindungi rakyat Indonesia," terangnya.
ââ¬â¹Selanjutnya, Viva mengatakan pemerintah harus serius melakukan reorientasi dan revitalisasi kebijakan pertanian. Pria kelahiran Lamongan tersebut berpendapat apa yang diprogramkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dua hal tadi ternyata di lapangan tidak berjalan, stagnan dan cenderung semakin memperburuk infrastruktur pertanian di indonesia.
"Jika ini dibiarkan maka akan menggadaikan kedaulatan negara kita. Sebab Soekarno pernah mengatakan barang siapa suatu negara dalam hal pangan tidak berdaulat maka akan membahayakan kedaulatan negara," kata dia. (gil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 25 Persen Perusahaan Belum Terapkan UMK
Redaktur : Tim Redaksi