jpnn.com - Pancasila ibarat pusaka milik Yudistira alias Puntadewa, Raja Pandawa, yang memiliki senjata pusaka yang disebut sebagai ‘’Jimat Kalimasada’’.
Para kesatria Pandawa dan Kurawa punya senjata sakti yang menjadi andalan masing-masing.
BACA JUGA: Menpora Amali Mengikuti Upacara Hari Kesaktian Pancasila 2022
Ada yang berbentuk panah, keris, gada, atau kuku tajam yang disebut sebagai kuku pancanaka, dan berbagai jenis senjata lain.
Akan tetapi, dalam jagat pewayangan, senjata andalan paling sakti adalah ‘’Jimat Kalimasada’’ milik Yudistira.
BACA JUGA: Peringati Hari Kesaktian Pancasila, TNI AL Kenang Jasa Pahlawan yang Gugur Peristiwa G30S PKI
Bentuknya bukan pedang atau panah, atau jenis senjata lain.
Jimat Kalimasada malah tidak ada bentuk fisiknya.
BACA JUGA: Peringati Hari Kesaktian Pancasila, Ganjar: Jangan Tergoda Ideologi Lain
Jimat itu bukan sejenis doa-doa rapalan yang bisa membuat pemiliknya kebal senjata atau berubah menjadi raksasa kuat yang menakutkan.
Jimat Kalimasada lebih berbentuk semacam filosofi hidup.
Para dalang yang berusaha menunjukkan bentuk fisik jimat itu biasanya memvisualisasikannya sebagai sebuah lembaran kertas mirip amplop tertutup.
Dalam sebuah pakem versi pewayangan lain Jimat Kalimasada diinterpretasikan sebagai ‘’Jimat Kalimat Syahadat’’.
Lidah Jawa akan kesulitan melafalkan ‘’Kalimat Syahadat’’ dan karena itu kemudian berubah pronunsiasinya menjadi ‘’Kalimasada’’ untuk memudahkan pengucapan lidah Jawa.
Interpretasi ini muncul karena tradisi wayang--yang merupakan impor dari India, nukilan epik Bharatayuda dan Ramayana--menjadi bagian yang sangat inheren dari ajaran Hindu yang mendapatkan banyak pengikut di Jawa.
Ketika Sunan Kalijaga mendakwahkan Islam di Jawa pada abad ke-16 dia memakai wayang dan suluk sebagai sarana dakwah.
Mistisisme Jawa akibat pengaruh Hindu sudah sangat mengakar, dan untuk mengubah tradisi itu tidak bisa dipakai cara-cara yang frontal dan antagonistis.
Maka Sunan Kalijaga kemudian memakai strategi budaya melalui pergelaran wayang sebagai sarana dakwah Islam.
Dari situlah munculnya kisah kehebatan Kalimat Syahadat sebagai senjata pusaka yang tidak terkalahkan.
Dengan kalimat tauhid itu seseorang akan mendapatkan kesaktian spiritual yang lebih tinggi nilainya dari sekadar kesaktian fisik.
Bung Karno menjadikan Pancasila sebagai senjata pusaka andalannya mirip Jimat Kalimasada.
Bung Karno bekerja keras menyarikan berbagai pemikiran-pemikiran besar dunia, dan kemudian berusaha mencari sintesis untuk diterapkan secara tepat dengan budaya dan alam pemikiran Indonesia.
Bung Karno memelajar berbagai paham dan ajaran filosofi dunia.
Dia menekuni marxisme dan memahami dengan sangat detail pemikiran Karl Marx dan Frederich Engels.
Bung Karno mengikuti metamorfosis pemikiran Karl Marx muda sampai pemikiran Marx tua.
Bung Karno membaca literatur babon mengenai kapitalisme dan liberalisme.
Bung Karno mendalami teori-teori nasionalisme, dan Bung Karno membaca banyak buku karya para pemikir Islam.
Dari pengembaraan intelektual yang luas itu Bung Karno kemudian merumuskan 5 pokok pemikiran yang dijadikannya sebagai dasar negara dan menyebutnya sebagai Panca Sila.
Dari berbagai khazanah pemikiran besar itu, Bung Karno merumuskan 5 hal pokok, yaitu ketuhanan, kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Para founding fathers anggota badan persiapan kemerdekaan (BPUPKI), yang bertugas merumuskan dasar negara menjelang kemerdekaan, bersepakat dengan rumusan Bung Karno yang diungkapkannya pada pidato 1 Juni 1945, yang kemudian diklaim sebagai hari lahirnya Pancasila.
Urutan 5 dasar itu bervariasi. Bung Karno menempatkan asas ketuhanan itu pada bagian akhir, tetapi para pemimpin Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimejo meminta supaya asas ketuhanan ditempatkan pada posisi tertinggi di sila pertama.
Pada 22 Juni 1945 Panitia Sembilan bertemu untuk melakukan finalisasi rumusan dasar negara.
Pada pertemuan itu disepakati pada sila pertama ditambahkan tujuh kata, sehingga bunyi lengkapnya ‘’ketuhanan disertai kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluknya’’.
Oleh Muhammad Yamin rumusan ini dinamakan ‘’Piagam Jakarta’’ dan disetujui oleh para anggota, termasuk A.A Maramis yang mewakili unsur non-muslim dan luar Jawa.
Akan tetapi, dalam rapat pada 18 Agustus 1945, sehari setelah kemerdekaan, tujuh kata pada sila pertama itu menjadi perdebatan keras.
Muhammad Hatta, yang baru sehari diangkat menjadi wakil prsiden, mengaku didatangi seorang intel Jepang dan menginformasikan bahwa jika 7 kata itu tidak didrop maka para pemimpin di wilayah timur--yang mayoritas berpenduduk non-muslim--akan menolak bergabung dengan Indonesia.
Bung Hatta, yang biasanya cermat, hat-hati, dan teliti, kali ini percaya begitu saja terhadap informasi itu tanpa melakukan verifikasi yang cermat. Identitas intel Jepang itu pun bahkan tidak jelas.
Ada yang menyatakan bukan informan Jepang, tetapi orang Indonesia yang bertubuh kecil dan bermata sipit mirip orang Jepang.
Berdasarkan informasi itu, Bung Hatta meminta perwakilan Islam agar 7 kata dari Piagam Jakarta itu dihapus.
Ki Bagus Hadikusumo yang menjadi perwakilan Islam menolak permintaan Hatta.
Akan tetapi, Kasman Singodimejo--yang sama-sama punya background Muhammadiyah dengan Ki Bagus—membujuk supaya Ki Bagus menerima usul Bung Hatta untuk menghindari perpecahan.
Ki Bagus mengalah. Tujuh kata itu dihapus, dan sebagai gantinya sila pertama berbunyi ‘’Ketuhanan Yang Maha Esa’’.
Meskipun tidak puas, golongan Islam mau berkorban demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan pada sila pertama supaya bisa memberi ruh religiusitas terhadap Pancasila.
Pergolakan politik Indonesia sejak masa kemerdekaan sampai sekarang berpusat pada interpretasi terhadap Pancasila.
Bung Karno memakai Pancasila untuk menjustifikasikan dekrit presiden untuk kembali kepada UUD 1945.
Dengan Pancasila, dia membubarkan Konstituante, memperkenalkan sistem demokrasi terpimpin, dan mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden seumur hidup.
Segera setelah berhasil mengendalikan situasi setelah upaya kudeta 30 September 1965, Soeharto mengambil alih interpretasi Pancasila dari tangan Soekarno. Satu hari setelah kudeta itu, Soeharto menyatakannya sebagai ‘’Hari Kesaktian Pancasila’’.
Setelah itu, selama 32 tahun masa kekuasaannya, Soeharto memonopoli tafsir terhadap Pancasila.
Dia memformalkan tafsir Pancasila melalui proyek P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Semua orang harus menghayati dan mengamalkan Pancasila sesuai dengan pedoman yang dibuat oleh Soeharto.
Tidak ada tafsir lain, tidak ada pengamalan lain, dan tidak boleh ada pedoman lain.
Dengan senjata Pancasila, Soeharto menjatuhkan Soekarno, sang penggali dan penemu Pancasila.
Rezim Orde Lama Soekarno dianggap telah menyelewengkan Pancasila, dan Orde Baru Soeharto muncul sebagai koreksi terhadap Pancasila versi Soekarno.
Soekarno memperkenalkan demokrasi terpimpin dengan memakai Pancasila sebagai kedok.
Soeharto memperkenalkan demokrasi Pancasila dengan mempergunakan Pancasila sebagai tameng rezim otoritarianismenya.
Dua rezim yang memonopoli Pancasila itu jatuh oleh gerakan massa.
Monopoli interpretasi terhadap Pancasila menghasilkan penyelewengan yang justru sangat jauh dari nilai-nilai dasar Pancasila.
Sebagai ideologi yang terbuka dan inklusif, Pancasila tidak bisa didaku oleh satu kelompok saja dan kemudian melakukan eksklusi terhadap kelompok lain.
Soekarno memahami sepenuhnya bahwa Pancasila adalah ideologi eklektik yang merupakan gabungan dari berbagai macam ideologi.
Dia kemudian membuat eksperimen politik yang terlalu jauh dengan menggabungkan Islam, nasionalisme, dan komunisme menjadi satu, Nasakom.
Rekayasa politik ini tidak pernah ada di dunia dan Soekarno ingin mencobanya di Indonesia, tetapi gagal.
Upaya mendaku tafsir Pancasila secara eksklusif masih terus terjadi sampai sekarang.
Banyak yang mengeklaim paling Pancasila, sambil menyingkirkan kelompok lain yang mempunyai tafsir tersendiri terhadap Pancasila.
Kelompok nasionalis mempunyai tafsirnya sendiri.
Kelompok Islam punya tafsirnya sendiri, dan kelompok komunis punya tafsirnya sendiri.
Tidak semuanya bisa disatukan dalam satu denominasi yang sama.
Komunisme jelas bertentangan dengan Pancasila, karena tidak akan bisa bertemu dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Nasionalisme dan Islam tidak bisa sepenuhnya bertemu, tetapi masih bisa dicari unsur-unsur kesamaan yang memungkinkannya bersatu.
Dua unsur ini mengisi menu utama dalam adonan kue politik modern Indonesia sekarang ini.
Dalam perkembangannya, kelompok nasionalis sekarang berkoalisi dengan kelompok liberal kiri yang memusuhi Islam.
Bangunan kebhinekaan Indonesia akan rapuh dan mudah pecah jika monopoli tafsir terhadap Pancasila masih terus terjadi.
Kelompok Islam tetap berhak terhadap tafsirnya sendiri.
Kelompok nasionalis berhak terhadap tafsirnya sendiri.
Yang diperlukan adalah mencari denominasi bersama yang saling mempertemukan, bukan saling menegasikan.
Hanya dengan mempertemukan dua arus besar itu dalam konsensus nasional yang tulus, maka Pancasila akan memperoleh kesaktiannya kembali. (*)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror