jpnn.com - Pandangan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terhadap resolusi sengketa di Laut Tiongkok Selatan (LTS) tidak lepas dari proses sejarah bagaimana Tiongkok memandang laut tersebut.
Dalam paparan Arief, (CNBC Indonesia 31/12/2019) sebelas garis putus-putus -- pertama kali muncul di peta Tiongkok pada tahun 1947 -- digunakan oleh Angkatan Laut Republik Tiongkok untuk menghubungkan pulau-pulau yang sebelumnya dikuasai Jepang.
BACA JUGA: Armada Laut Tiongkok Terbesar di Dunia, Indonesia Akan Jadi Pangkalannya?
Setelah Kuomintang berpindah ke Taiwan pada tahun 1949, RRT mengeklaim wilayah maritim tersebut dan pemerintah Taiwan pun demikian.
Pada 1950-an, dua garis putus-putus dihapus, meninggalkan sembilan, yang diubah oleh Perdana Menteri RRT Zhou Enlai untuk mendukung Vietnam Utara dalam perjuangan melawan Vietnam Selatan.
BACA JUGA: BNPT-Kementerian Keamanan Publik Tiongkok Teken MoU Penanggulangan Terorisme
Pada bulan April 2022, Presiden RRT Xi Jinping mengemukakan konsep Prakarsa Keamanan Global (PKG) yang bertujuan menciptakan tatanan dunia baru berdasarkan pandangan khas Tiongkok.
Konsep PKG ini sangat dipengaruhi oleh aspek sejarah sebagai negara besar yang berusaha untuk mengubah atau memodifikasi tatanan dunia yang ada agar lebih sesuai dengan kepentingan dan peran besarnya dalam dunia internasional.
BACA JUGA: Malaysia Minta ASEAN Lupakan Gerakan Non-Blok dan Bersatu Jaga Laut China Selatan
Salah satu aspek yang penting dalam pandangan Tiongkok terkait PKG adalah penyelesaian sengketa di LTS.
Tiongkok, sebagai pihak yang terlibat dalam sengketa wilayah di LTS, memiliki pandangan yang berbeda terhadap resolusi sengketa tersebut.
RRT menganggap bahwa secara umum perjanjian internasional/hukum internasional oleh RRT dianggap sebagai produk politik, jadi tidak sakral dan selalu dapat di-renegosiasi.
Akibatnya, meskipun menjadi anggota UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) dan telah meratifikasi Konvensi tersebut pada tahun 1996, Tiongkok dalam perkembangan selanjutnya melakukan pelanggaran terhadap perjanjian internasional tersebut.
Klaim Tiongkok atas sejumlah kepulauan dan wilayah laut di LTS didasarkan pada hak-hak historis, administrasi berkelanjutan, dan pengakuan sepihak. Namun, beberapa alasan klaim "hak bersejarah" Tiongkok sebenarnya meragukan, karena adanya inkonsistensi dalam peta klaim, ketidakmampuan memenuhi persyaratan hukum internasional yang diakui secara luas, serta kendali konsisten yang kurang terhadap wilayah yang diklaim.
Meskipun ada dasar sejarah yang mendukung menurut Raditio (2019:64) klaim Tiongkok, perilaku dan klaim pemerintah RRT di wilayah tersebut bersifat sporadis dan tidak konsisten, menunjukkan bahwa Tiongkok bukan negara ekspansionis yang mencoba memaksimalkan kekuasaan melalui penaklukan.
Dalam perbandingan dengan Jerman Nazi, yang melakukan penaklukan tanpa dasar sejarah atau hukum yang kuat, Tiongkok, sebaliknya, memiliki sejarah kuat di LTS dan mewarisi klaim teritorial dari rezim sebelumnya, sehingga tidak dapat dianggap sebagai negara ekspansionis.
Penting untuk dicatat bahwa menurut Raditio (2019:59) konsep "hak bersejarah" dalam hukum internasional itu ambigu dan diatur oleh UNCLOS. Akan tetapi perlu diingat bahwa “hak bersejarah” tidak dapat dipakai untuk membenarkan klaim RRT di LTS.
Hukum internasional mengharuskan persetujuan negara-negara asing terkait klaim hak bersejarah, dan beberapa negara, seperti Vietnam, telah memprotes klaim Tiongkok tersebut. Selain itu, pengadilan internasional telah menyatakan bahwa klaim hak bersejarah Tiongkok di LTS tidak sah dan melanggar hukum berdasarkan UNCLOS.
Tanggapan Tiongkok terhadap keputusan ini akan menentukan apakah perilakunya di LTS akan bersifat defensif atau ofensif di masa depan. Meskipun ada tanda-tanda penyesuaian setelah keputusan tersebut, hal ini memberikan harapan bahwa Tiongkok akan mematuhi hukum internasional dalam tindakan masa depan di LTS. Dan, tampaknya dalam realitas, RRT mengedepankan solusi politik (konsultasi, negosiasi) dengan negara-negara terkait.
Dalam menghadapi isu LTS terkait dengan perairan Kepulauan Natuna, pemerintah Republik Indonesia (RI) perlu berhati-hati. Indonesia bersama negara-negara Asia lainnya perlu menjaga hukum internasional dan mencegah tindakan Tiongkok yang mungkin merusak UNCLOS. Jika tidak bijak dalam menanggapi PKG, potensial akan menimbulkan gangguan terhadap stabilitas kawasan dan konflik antara negara-negara adidaya di Asia Tenggara.
Meskipun demikian, Indonesia juga perlu menjaga hubungan bilateral dengan Tiongkok tanpa mengorbankan peran pentingnya dalam mendorong prinsip-prinsip hukum internasional di kawasan tersebut.
Pemerintah RI telah mengganti nama wilayah laut di Kabupaten Natuna menjadi Laut Natuna Utara dan menegaskan bahwa 12 dan 200 mil dari pulau terluar kepulauan Natuna menjadi bagian wilayah teritorial, dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Indonesia (dalam Arief, 2019) dengan tegas menolak Nine-Dash Line yang sering digunakan oleh pemerintah RRT untuk mendukung klaim wilayah di LTS. Pemerintah RI akan memprotes setiap pelanggaran yang dilakukan oleh RRT terhadap wilayah ZEE Indonesia dan menjaga kedaulatan negara Indonesia.
Kendati demikian, Indonesia perlu menegakkan hukum internasional dan mendukung resolusi yang adil dalam menghadapi isu LTS, sambil tetap menjalin hubungan bilateral dengan Tiongkok dan sekaligus menjaga kedaulatan bangsa di wilayah perairan Kepulauan Natuna.
Sebagai catatan akhir, pandangan Tiongkok terkait resolusi sengketa di LTS tidak terlepas dari konsep PKG yang mereka kemukakan. Tentu saja oleh Indonesia PKG dilihat dengan penuh kehati-hatian.
Sebagai pertanyaan reflektif, mengapa kendati ada ketegangan dengan Tiongkok terkait dengan LTS, pemerintah Indonesia perlu tetap menjaga relasi baik dengan bangsa-bangsa termasuk dengan RRT? Semoga ada jawaban yang memuaskan bagi bangsa Indonesia, yang sedang membangun masa depan lebih cerah.(***)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari