Pandemi COVID-19 mengubah hubungan sejumlah warga Australia dengan agama mereka. Ada yang meninggalkan agamanya, ada pula yang justru semakin religius.
Seorang mahasiswa di Sydney, Satara Uthayakumaranm, mengaku sempat mengalami "krisis eksistensial" selama tahun-tahun pertama pandemi.
BACA JUGA: Kanada Mengalami Kebakaran Hutan Terburuk, Ini Alasan Mengapa Kita Harus Peduli
Remaja berusia 20 tahun penganut agama Anglikan yang taat dan tumbuh di gereja ini tiba-tiba mulai mempertanyakan imannya dan keberadaan Tuhan.
Dia mengatakan sebelum pandemi terjadi, dia merasa nyaman “hanya percaya dan mengikuti tradisi gereja” tanpa mempertanyakan apa pun.
BACA JUGA: Bea Cukai Yogyakarta Kawal Ekspor Paper Bag ke Australia dan Selandia Baru
Namun, tidak bertatap muka dengan jemaat gerejanya selama pembatasan sosial pandemi mulai memicu keraguannya.
"Banyaknya nyawa manusia yang hilang membuat saya berpikir bagaimana mungkin Tuhan mengizinkan hal seperti terjadi itu?" katanya.
BACA JUGA: Penjelasan Pakar Mengapa Perairan dan Serangga di Tasmania Bisa Menyala
Menghabiskan waktu jauh dari jemaat gereja juga memberinya lebih banyak waktu untuk membaca ayat-ayat rohani di luar Alkitab, yang memicu pertanyaan tentang Gereja Anglikan.
Satara, yang merupakan keturunan Tamil, mulai berpikir bahwa ia dan keluarganya sering kali menjadi satu-satunya jemaat paroki dengan kulit berwarna, meskipun uskup agung Gereja Anglikan di Sydney saat ini adalah orang Sri Lanka.
Ia mengatakan bahwa mereka sering kali “terlihat seperti orang aneh” di dalam lingkungan jemaat lainnya.
Dia juga tidak menerima kurangnya perempuan dalam kepemimpinan gereja.
"Gereja Anglikan di Sydney menolak pentahbisan perempuan sebagai pendeta dan uskup, yang menurut saya bersifat misoginis, terbelakang, dan jelas-jelas tidak bersifat Kristen," ujarnya.
"Hal itu membuat saya sampai di titik mempertimbangkan untuk tidak lagi mengidentifikasi diri dengan apa pun dan menyerah atau memutuskan hubungan dengan agama Kristen," katanya.
Saat ini dia tidak lagi menggambarkan dirinya sebagai penganut agama Kristen, namun mengatakan ada sesuatu yang “lebih besar dari kita” di luar sana.Lebih memikirkan Tuhan, bukan agama
Satara adalah salah satu dari banyak warga Australia yang dalam satu dekade terakhir memutuskan untuk tidak menyebut diri mereka sebagai penganut agama Kristen.
Menurut Biro Statistik Australia (ABS) pada tahun 2021 jumlah penduduk yang mengaku beragama Kristen turun di bawah 50 persen, yakni menjadi 43,9 persen, untuk pertama kalinya.
Pada tahun 2016, angkanya masih 52 persen.
Jumlah orang yang diidentifikasi sebagai non-religius juga meningkat pada tahun 2021, menjadi 39 persen atau 10 juta orang, naik dari 30 persen pada tahun 2016.
Bagi Satara, meninggalkan agama dan kepercayaannya itu telah membuatnya "terbuka terhadap apa pun".
Dia mengaku saat ini melihat "Tuhan dari sudut pandang yang berbeda" dan bukan melalui pandangan Kristen tradisional.
"Saya menyadari bahwa tidak apa-apa jika tidak lagi melihat Tuhan secara jelas. Saya pikir itu adalah sesuatu yang sebenarnya cukup indah," jelasnya.Tak lagi menganut agama
Meskipun banyak warga Australia yang tidak lagi menganut satu agama, mereka mulai bersikap terbuka terhadap keyakinan orang lain.
Pada tahun 2021, sebuah penelitian yang dilakukan oleh McCrindle menemukan bahwa hampir setengah penduduk Australia sangat atau sangat terbuka untuk percakapan spiritual tentang pandangan yang berbeda.
Keterbukaan ini dirasakan langsung oleh Satara.
Untuk mencari jawaban, dia menulis surat kepada dua tokoh Kristen terkemuka, mantan Uskup Agung Canterbury, Rowan Williams, dan Kepala Gereja Episkopal, Uskup Michael Curry.
Dia sangat kaget ketika keduanya membalas suratnya dengan cara yang membuatnya merasa tidak dihakimi.
"Mendapat tanggapan dari mereka membantu saya kembali ke hal serupa, tetapi dalam bentuk yang berbeda," katanya.
Sementara imannya pada agama Kristen belum pulih, dia sekarang menggambarkan dirinya sebagai seorang "agnostik yang penuh harapan".Menyerahkan hidup kepada Yang Mahakuasa
Tidak seperti Satara, warga Australia lainnya justru semakin dekat dengan agama dan keyakinan mereka selama pandemi.
Menurut penelitian McCrindle, sepertiga warga Australia mulai memikirkan Tuhan sejak COVID merebak, dan tiga dari 10 orang mengaku lebih banyak berdoa.
Hampir setengahnya mengaku lebih memikirkan arti hidup dan kefanaan dunia ini.
Hal itu yang terjadi pada pelatih motivasi Alana Mai Mitchell yang menemukan rasa spiritualitas baru selama pandemi.
Wanita berusia 36 tahun ini mengatakan bahwa dia mendapati dirinya lebih banyak melihat "ke dalam", merenung, berefleksi.
Di tengah-tengah pandemi, dia akan merasa cemas bepergian ke tempat kerja karena tingkat infeksi yang tinggi. Hal itu berdampak buruk pada kesehatan mentalnya.
Alana akhirnya memutuskan untuk mencoba bermeditasi dan berlatih yoga secara online. Dan berhasil.
Dia mengaku hal ini bukan hanya membantunya mengelola kesehatannya, tetapi juga mengarahkannya ke arah baru: sebuah "perjalanan spiritual".
"Saya menyerahkan hidupku kepada Yang Mahakuasa. Ego saya tidak lagi memegang kendali," katanya.
Sejak memulai perjalanannya itu, Alana sampai pada kesimpulan baru bahwa "ada kekuatan yang lebih besar, kekuatan yang lebih tinggi".
"Mungkin orang menyebutnya Tuhan, atau menyebutnya kesadaran kesatuan. Itu adalah kekuatan ilahi yang mengekspresikan dirinya di alam semesta dan kita hanyalah kendaraan dari ekspresi itu," tuturnya.Refleksi spiritual
Bagi penyair dan penulis Mesir-Amerika, Yahia Lababidi, pandemi telah memberikan waktu untuk merenungkan agamanya, Islam.
Pada masa-masa awal COVID, ia menghibur diri dengan membaca Al-Quran dan memperdalam pemahamannya tentang pentingnya pandemi ini.
"Peristiwa itu membantu saya menerima takdir. Yang bisa saya lakukan hanyalah berada dalam keadaan menerimanya," kata Yahia kepada ABC.
Dia mengaku melakukan perenungan dan melihat seolah-olah umat manusia telah mencapai akhir zaman.
"Saya mendapati diri berpura-pura seolah-olah kiamat sudah dekat," katanya.
Yahia percaya bahwa pengalaman awal pandemi membuat semua orang berada dalam keadaan batin dan kontemplasi kolektif, sekaligus menguji mereka melalui ketakutan akan kehilangan orang yang dicintai.
Ia mengatakan mungkin banyak orang harus mempelajari cara hidup yang baru, seperti dilahirkan kembali, dan harus memulainya dari awal.
Dan dengan awal yang baru seperti itu, muncullah peluang baru.
"Tak ada waktu yang lebih baik untuk membereskan urusanmu, merawat jiwamu serta menjaga hubunganmu dengan sang pencipta," ujar Yahia Lababidi.
Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Pelari Putri Amerika Serikat Pecahkan Rekor Dunia 100 Meter