Anggota Komisi II DPR Nurul Arifin mengatakan, ketiadaan sosialisasi kepada publik atas sistem Sipol menjadi alasan perlunya meminta penjelasan kepada KPU. Secara mekanisme, KPU tidak menyalahi tata aturan dengan menerapkan Sipol sebagai salah satu instrumen untuk verifikasi. "Sistem itu ujuk-ujuk tanpa ada sosialisasi," ujar Nurul seusai diskusi bertema Preferensi Politik Masyarakat kemarin (21/10).
Menurut Nurul, KPU secara sepihak langsung menggunakan jasa pihak asing guna membantu sistem Sipol itu. Padahal, KPU bisa memaksimalkan tenaga atau sumber daya lokal untuk mendukung kerja tersebut. "Kenapa KPU tidak menggunakan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) atau tenaga anak-anak kuliah yang memahami IT," ujar Nurul.
Kerja yang dilakukan KPU, ujar politikus Partai Golkar itu, telah menisbikan kerja parpol. Dia menyatakan, parpol sudah bekerja keras dengan mengumpulkan data kartu tanda anggota (KTA) di daerah berikut salinan kartu tanda penduduk (KTP). "Namun, data NIK dan alamat itu harus dicantumkan, padahal sudah ada KTP," ujarnya.
Nurul menilai, sistem Sipol tanpa sosialisasi yang jelas justru menimbulkan kecurigaan. Apalagi, keterlibatan asing di dalam sistem Sipol menambah kecurigaan seberapa jauh posisi pihak yang tidak memiliki hubungan dengan pemilu Indonesia itu. "Apa kita harus membuka semua dapur kita kepada mereka. Banyak kepentingan data, melihat kekuatan parpol di sini," ujarnya.
Namun, komisi II tidak bisa melarang kerja sama KPU dengan pihak asing. Sebab, kerja sama dengan asing tersebut sudah diatur dalam peraturan pemerintah (PP). Keterlibatan pihak asing itu tidak tertutup kemungkinan juga akan meminta keterangan pemerintah. "Dalam hal pemilu legislatif, kerja sama dengan asing harusnya diminimalisasi. Mereka (asing) cukup sebagai observer (pemantau) saja," tandasnya.
Anggota Komisi II DPR Arif Wibowo menegaskan, KPU tidak bisa memaksakan Sipol sebagai penentu lolos atau tidaknya parpol dalam verifikasi administrasi. Pasalnya, berkas yang diakui UU Pemilu adalah berkas cetak yang disampaikan parpol kepada KPU. "Dokumen dalam bentuk cetak merupakan bukti satu-satunya yang sah untuk verifikasi administrasi yang selanjutnya digunakan sebagai dasar verifikasi faktual," ujar Arif.
Dalam hal ini, Arif mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak tinggal diam. Jika ada parpol yang tidak lolos karena sipol, pihaknya bisa saja mengadukan KPU ke dua lembaga tersebut.
"Kami meminta DKPP tidak berdiam diri terhadap adanya indikasi kuat pelanggaran etika sekaligus pemilu yang dilakukan KPU," tandasnya. (bay/c10/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Saan: Tingkat Kepercayaan Partai Lain Juga Turun
Redaktur : Tim Redaksi